berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

19 Juli 2010

Investor “Magarang” Pariwisata

Oleh: Agus Mahendra

Mendengar kata “investasi” dan “investor”, di benak kita jarang yang mengaitkannya dengan masalah pertanian. Apalagi sebagai masyarakat Bali, sedikit saja mendengar kata-kata itu, secara reflek atau mungkin bisa dikatakan latah, orang akan condong mengaitkannya dengan pariwisata. Lho kok tidak mengaitkannya dengan pertanian? Mungkin harus kita akui bahwa praktik investasi yang dilakukan oleh investor di Indonesia jarang menyentuh bidang pertanian, terlebih di Pulau Dewata yang memang tersohor dengan pariwisatanya hingga ke mancanegara. Di balik tersohornya Bali di mata dunia, sebagaian besar penduduknya bergerak di bidang agraris atau menggantungkan hidupnya sebagai petani. Siapa pun itu yang memiliki label sebagai nak Bali, baik di kota maupun yang bergerak di bidang pariwisata tidak bisa terlepas bahkan masih tergantung dengan pertanian. Secara ekstrem, semua masyarakat Bali hidup dengan memakan nasi!

Nah, jika sudah seperti itu kenapa investor yang datang untuk berinvestasi di Bali jarang sekali yang melirik bidang pertanian dan justru lebih memilih bersaing keras dan mati-matian untuk bergerak di bidang pariwisata? Tidak hanya orang asing, bahkan sempat diberitakan Gubernur Bali Made Mangku Pastika memiliki ambisi untuk membangun hotel di wilayah Kuta. Kalau dilihat dari jumlah wisatawan yang datang ke Bali, mungkin logis saja pariwisata lebih menarik investor untuk bergerak di dalamnya. baik dengan membuat hotel, villa dan sebgainya. Tetapi kalau kita cermati dari berbagai aspek, pariwisata Bali sama sekali tidak bisa dilepaskan dengan pertanian, atau lebih mudahnya pertanian memiliki kontribusi besar terhadap pariwisata Bali. Pertanian merupakan penopang atas kehidupan pariwisata Bali. Tanpa pertanian, pariwisata Bali tidak bisa seperti sekarang. Namun ironisnya, tingginya kunjungan wisatawan ke Bali untuk menikmati alam dan budaya Bali tidak serta merta dapat mengangkat derajat hidup petani Bali yang masih mengalami kesenjangan. Bahkan generasi muda kita sudah jarang yang menekuni pekerjaan sebagai petani dan justru ikut terjun di dalam hangar-bingar usaha pariwisata, walaupun pada dasarnya hanya menjadi kuli. Mungkinkah ini menandakan suatu ketakutan akan nasib dan masa depan kehidupan petani yang semakin terjepit?

Seorang lelaki asal Gerokgak, Buleleng, yang dilahirkan dan dibesarkan di keluarga petani kini terpaksa meninggalkan profesi turun-menurun dari leluhurnya dan memilih menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta. Ia mengaku meninggalkan profesi mengolah tanah karena penghasilan petani saat ini sangat sulit umtuk memberi penghidupan yang layak, apalagi dengan kondisi alam yang sudah tidak mendukung lagi, serta luas lahan di daerahnya sudah banyak dibeli orang asing (baca: investor) untuk villa dan sarana pariwisata lainnya. “Penghasilan petani sekarang sangat kecil, bahkan beli beras untuk satu hari saja sulit. Mending maburuh, dapat gaji, tunjangan, dan yah lebih santai. Lagian kan sekarang air sulit, banyak sawah jadi villa milik toris,” tuturnya. Mungkin sekelumit cerita itu dapat menjadi jawaban atas pertanyaan bagaimana saat ini profesi petani ditinggalkan oleh generasi muda.

Sementara itu, menanggapi minimnya investor yang tertarik dan mau bergerak di bidang pertaniaan seorang petani padi di wilayah Subak Tegal Lantang, Jembrana, menyatakan, investor yang datang ke Bali enggan melirik bidang pertanian karena kualitas petani dan hasil pertaniannya sangat rendah. Menurutnya, pemerintah jarang memberikan perhatian kepada petani. “Pemerintah jarang ingat petani. Jarang ada PPL memberi penyuluhan ke sawah. Saya saja seumur hidup jadi petani berusaha berinovasi sendiri sehingga hasilnya baik. Yah, gimana investor mau, kalau kita tidak dibina?” keluhnya. Ia menyayangkan langkanya kepedualian dari berbagai pihak terhadap bidang pertanian, petani dan kehidupanya. Ia megaku kehidupan sebagai seorang petani saat ini begitu terjepit, bahkan hasil yang diperoleh, yang kebanyakan dibeli tengkulak, jauh dari harga kebutuhan pokok yang semakin hari semakin meningkat. “Kenapa investor diundang ke Indonesia oleh pemerintah, justru magarang untuk membuat usaha pariwisata? Kan peluang di bidang pertanian terbuka lebar dan petani membutuhkan itu. Kalau pertanian maju, jelas pariwisata maju.” Bahkan ia sangat menyayangkan sekali banyak investor yang mencaplok lahan pertanian, apakah sawah atau kebun, untuk disulap menjadi bangunan beton.

Pengakuan tersebut juga dibenarkan oleh salah seorang PPL di Kabupaten Buleleng. Sumber yang tidak mau disebutkan namanya ini mengaku kunjungan PPL ke lapangan sudah terstandar dan terprogram, namun tergantung ke petugas yang bersangkutan. “Ya kalau males, hanya laporan saja. Petani yang jadi korbannya. Walaupun satu desa ada satu PPL,” demikian pengakuan jujurnya. Ia menceritakan bahwa setiap pertemuan subak dan kelompok tani di wilayah kerjanya, ia tetap hadir untuk memberikan penyuluhan dan mendengar aspirasi petani. Namun tidak memungkinkan ia hadir setiap hari di sawah dan kebun. Diakui pula, jumlah alih fungsi lahan pertanian di wilayah kerjanya dari tahun 2000 hingga 2009 mencapai 70 persen, dan 50 persennya karena beralih fungsi menjadi bangunan seperti hotel dan villa, di samping untuk perumahan karena kebetulan di wilayah kerjanya merupakan daerah pariwisata. Ia juga menyayangkan turunnya izin kepada pengusaha yang sebagian besar orang asing untuk menyulap lahan pertanian menjadi hotel dan villa.

Anggota Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Drs. Nyoman Wijana Semadi, menyatakan bahwa selain karena masalah prestise atau gengsi investor ketika bergerak di bidang pertanian, enggannya investor melirik peluang investasi di bidang pertanian juga disebabkan modal yang ditanamkan di bidang pertanian lebih lama kembali dibanding usaha pariwisata yang lebih instan. “Kecuali kena bom, baru Bali kolaps,” ungkapnya. Ia pun mengakui petani di Bali ilmunya masih minim dan akan berpengaruh pada kualitas hasilnya. Hal ini disebabkan oleh perhatian pemerintah yang sangat minim. Ia mencontohkan kehadiran dan peran PPL di bidang penyuluhan dan pembinaan di tengah-tengah petani masih jauh dari harapan dibanding pada masa orde baru silam. “Di masa reformasi, PPL-nya lebih banyak menemui petani atau krama subak hanya saat menjelang event seperti lomba-lomba saja,” katanya. Ia menuturkan dari kebanyakan investor yang sudah mau berinvestasi di bidang pertanian, tidak banyak yang trauma akan kegagalan atau kerugian yang tidak semata-mata oleh hasil dan harga, melainkan juga belum ada kepastian dan jaminan yang pasti yang diberikan oleh pemerintah kepada investor atas investasi pertanian saat ini, layaknya di bidang pariwisata.

Untuk menarik investor agar bergerak di bidang pertanian, menurutnya perlu dilakukan promosi pertanian secara berkesinambungan. Sangat disayangkan pemerintah, terutama di Bali, masih terkesan menganaktirikan sektor pertanian. “Promosi pariwisata Bali melalui TV internasional yang menelan dana puluhan miliar sangat jauh dibandingkan promosi pertanian. Ada visit A, visit B, kok nggak ada program visit agro?” ungkapnya. Menurutnya nasib petani di Bali bagai telur di apit batu. “Tidak bekerja tidak makan. Kalau bekerja, merugi.” Terkait alih fungsi lahan yang kini terjadi besar-besaran, ia menilai aturan seperti Perda Jalur Hijau belum dirasakan efektif untuk mencegah adanya penyulapan lahan pertanian yang masih produktif menjadi bangunan beton oleh para investor. Perlu ada ketegasan hukum, misalnya ada kepastian dan jaminan hukum kepada investor yang berinvestasi di bidang peertanian sehingga saling menguntungkan antara petani, pemerintah dan investor itu sendiri.

Rendahnya investasi yang dilakukan investor di bidang pertanian yang berbanding terbalik dengan nilai ivestasi di bidang pariwisata merupakan salah satu pertanda bahwa pembangunan di bidang pertanian yang dilakukan oleh pemerintah belumlah bisa dikatakan berhasil untuk mengangkat derajat hidup petani di Bali. Hendaknya pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten di bidang pertanian mau tergerak hatinya memberikan sumbangsihnya untuk peningkatan kualitas pertanian Bali, agar nantinya tidak ada lagi ungkapan petani mengairi sawahnya dengan air mata, dan petani sebagai profesi akan mati pelan-pelan.

Penulis adalah seorang anak petani dari Pekutatan, Jembrana

0 komentar:

Posting Komentar