berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

19 Juli 2010

Menghampiri Romantika Kehidupan Nelayan di Pengambengan dan Cupel

Kehidupan nelayan selalu identik dengan kemiskinan. Identik dengan serba kekurangan. Untuk ukuran Indonesia, persepsi ini memang tak dapat dibantah. Karena untuk di Indonesia, profesi nelayan memang profesi pilihan bagi orang-orang pesisir yang tak punya tanah atau kebun atau sawah, tak punya modal, tak punya pekerjaan tetap, dan tak punya keahlian. Nelayan di Indonesia adalah orang-orang yang tidak pernah berpendidikan cukup, tidak kreatif, selain hanya bisa mendayung dan menebar jaring.

Banyak orang menggerutu. Nelayan itu seharusnya cepat kaya. Karena mereka bekerja nyaris tanpa modal. Tak perlu merawat lautan seperti halnya petani merawat dan memupuk kebun atau sawahnya. Nelayan tak perlu memberi makan ikan-ikan di samudera seperti halnya peternak harus memberi makan sapi-sapi, kerbau, kambing, babi, ayam dan seterusnya. Nelayan tinggal mengambil hasil laut, bawa ke daratan, lalu menjualnya.

Desa Pengambengan dan Desa Cupel di Kecamatan Negara, Jembrana, adalah contoh riil romantika kehidupan para nelayan di Indonesia. Hampir seratus persen penduduk lokal kedua desa di pesisir selatan Kabupaten Jembrana ini berprofesi sebagai nelayan. Maka kedua desa itu pula telah bertahun-tahun menjadi pusat perikanan di Bali. Hasil laut dikumpulkan di sini, baru kemudian dijual ke berbagai penjuru Bali dan bahkan Jawa, sebagian besar lagi disetor ke pabrik-pabrik pengalengan yang bertebaran di kedua desa itu pula. Setiap hari, terutama di musim panen raya, jutaan ekor ikan, ribuan ton ikan, ditransaksikan di sini. Modal yang berputar pun bukan lagi jutaan, tetapi milyaran dalam satu bulan.

Tetapi kembali kepada persepsi di atas tadi, kenapa para nelayan itu sepanjang jaman tetap saja menjadi orang miskin atau merasa miskin? Siapa pemilik modal milyaran yang berputar tiap hari itu? Siapa punya perahu-perahu besar yang setiap hari mengarungi samudera lepas itu? Siapa yang menebar bangunan-bangunan megah pabrik-pabrik pengalengan dan penepungan yang selalu mengepulkan asap itu? Dan, siapa yang punya truk-truk tronton, mobil-mobil mewah yang berlalu-lalang di jalan-jalan berbau amis kedua desa itu?

Yang jelas bukan mereka para nelayan berkulit gelap dengan mimik wajah yang susah itu.

Sekali lagi, para nelayan tetaplah hanya para penangkap ikan. Mereka hanya tukang penebar jaring yang saban malam harus mengarungi samudera meninggalkan anak-istri di rumah-rumah lembab sepanjang pantai. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya naik mobil-mobil mewah itu, mereka tak pernah berani membayangkan bagaimana rasanya suatu saat punya truk tronton, punya pabrik pengalengan, atau bahkan punya sebuah perahu saja. Mereka hanya berpikir, semoga nanti mendapat tangkapan yang melimpah sehingga esok hari bisa dapat uang lebih dari para juragan pemilik perahu. Itu saja!

***

Menurut Muhammad Hazin, nelayan sekaligus seorang ketua kelompok nelayan di Desa Cupel, modal untuk menjadi seorang nelayan sungguh tidak kecil. Untuk membuat jaring saja membutuhkan biaya sekitar Rp. 10 juta. Untuk membeli mesin minimal menghabiskan dana Rp. 3 juta. Kira-kira biaya keseluruhan untuk perahu yang kecil (jukung) saja bisa menghabiskan dana Rp. 5-10 juta.

Dan inilah persoalannya. Karena para nelayan pada dasarnya adalah warga masyarakat pesisir yang hanya punya modal kaki dan tangan, maka modal dana untuk perlengkapan melaut harus meminjam dulu dari pihak lain. Sekarang, modal untuk nelayan kelas jukung bisa dipinjam dari bank. Tetapi dulu, dalam waktu yang cukup lama nelayan hanya bisa mengharap modal dari para orang-orang kaya di sekitar pesisir. Orang-orang kaya yang memberi modal itu tiada lain adalah para juragan yang biasa membeli ikan-ikan tangkapan nelayan untuk dijual kembali ke berbagai penjuru. Dan mudah ditebak, apabila para nelayan sudah punya hutang kepada para juragan tersebut, maka kendali sudah pasti pula berada di tangan sang juragan. Mau dibeli dengan harga berapapun ikan hasil tangkapan, nelayan lebih banyak pasrahnya.

Ini terjadi bertahun-tahun. Dan para juragan adalah orang-orang yang jauh lebih pintar, lebih lihai dalam hal memenej modal. Mereka tidak akan dengan mudah mau melepas para nelayan dari jaring-jaring kapitalnya. Ada saja cara, bagaimana untuk bisa terus-menerus mengikat para nelayan agar seolah-olah berhutang. Cara yang paling mudah adalah dengan seolah-olah memanjakan para nelayan itu sendiri.

Soal pendapatan, khusus nelayan di Desa Pengambengan yang berpenduduk 10.285 jiwa dan yang berprofesi nelayan sekitar 3.281 orang, mampu mengumpulkan hasil tangkapan 41.472.000 ton ikan kecil (lemuru dan sejenisnya) dan 5.250 ton lebih ikan tongkol tiap tahun. Sementara ikan hasil kolam atau tambak 16.150 ton per-tahun. Tangkapan ini memberi kontribusi yang cukup besar, baik sebagai penghasilan maupun kontribusi kepada daerah. Apalagi sejak dibangunnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dirampungkannya dermaga ikan terbesar di Indonesia di Pengambengan. Para Nelayan Pengambengan mampu melakukan transaksi kurang lebih Rp. 31.124.000.000 per-tahun.

Karena kebiasaan mengarungi samudera hingga berhari-hari, para nelayan pun kerap kali lupa daratan. Masa panen raya dipahami hanya sebagai masa berfoya. Belum turun ikan dari perahu atau jukung, sederet barang-barang mewah sudah menunggu di bilik rumah. Televisi besar, tape dan radio besar, perabotan dan furniture buatan pabrik, sepeda motor keluaran terbaru dan sejenisnya sudah menunggu. Semua itu dibayarin para juragan dulu. Selanjutnya nelayan boleh mencicil atau kontan sesuai hasil tangkapan. Besok melaut lagi, karena di toko perhiasan masih banyak lagi barang-barang baru.

“Kelemahan dan ketakberdayaan untuk memenej penghasilan, itulah musuh nasib para nelayan. Berapa pun penghasilan mereka, akan langsung habis begitu tiba di daratan. Mereka seolah tak peduli hari esok, tak peduli untuk menabung, setiap penghasilan harus dihabiskan hari itu juga. Ya, barangkali karena mereka bisa mendapatkan ikan-ikan dengan begitu saja tanpa pernah merasakan bagaimana memelihara. Jadi, kemiskinan para nelayan lebih disebabkan oleh mental yang tidak profesional. Dan hal itu dimanfaatkan oleh para pemilik modal besar,” demikian para pakar berkomentar.

Hal ini diakui oleh Kepala Desa Pengambengan H. Asmuni Taryadi. “Bagaimana lagi ya? Sebagai nelayan, mereka jarang di darat. Kalau di darat mereka butuh hiburan. Sementara itu fasilitas hiburan di sini tak ada. Maka para nelayan lebih suka ke kota setiap kali habis melaut. Uang penghasilan mereka dihabiskan untuk membeli barang-barang yang bersifat hiburan,” demikian Asmuni dalam sebuah kesempatan. Padahal menurut Muhammad Hazin, penghasilan nelayan di masa panen raya memang berlimpah. “Kami bisa mencapai jutaan rupiah, terkadang sampai lima juta dalam sekali berlayar,” ujarnya sambil tertawa.

Satu hal lagi yang menjadi permasalahan pada Nelayan Pengambengan maupun Cupel adalah tingkat pendidikan. Di sini, warga masyarakat yang dewasa rata-rata kesadaran penduduk untuk menuntut ilmu sangat kurang. Rata-rata mereka hanya tamatan SD, jadi mereka gampang sekali ditipu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan para tengkulak,” demikian Kepala Desa Asmuni.

Bantuan pemerintah
Di sisi lain, Kaur Pemerintahan Desa Pengambengan, Abdulrafiq, yang ditemui baru-batu ini mengatakan, program-program bantuan dari pemerintah bagi para nelayan dan warga miskin di Pengembengan juga sudah banyak yang diberikan. “Banyak program bantuan pemerintah yang sudah kami sampaikan kepada masyarakat yang memerlukan. Antara lain; PNPM, P2PDT, Bedah Rumah, pemberian ternak sapi atau kambing,” ungkap Abdulrafiq.

Namun disayangkan, banyak warga yang menerima bantuan belum bisa mengelola dengan baik apa yang diberikan oleh pemerintah. Misalnya saja, diberikan sepasang ternak sapi tapi mereka tidak bisa memelihara sapi-sapi itu dengan baik. Ternak yang diberikan tersebut tidak berkembang, sakit, dan pada akhirnya dijual dengan harga yang murah. “Bahkan ada juga ternak yang mati,” tandasnya lebih lanjut.

Menurut Abdulrafiq, masalah kemiskinan yang masih mendera sebagian nelayan di Pengambengan, tidaklah bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah. “Nelayan di sini sebenarnya sudah banyak diperhatikan, bahkan kami datangi langsung ke rumahnya untuk menyerahkan bantuan maupun penyuluhan-penyuluhan. Namun, masyarakat di sini kebanyakan masih belum mengerti untuk mengelola bantuan-bantuan tersebut,” jelas laki-laki yang sudah 19 tahun bekerja di kantor kepala desa Pengambengan tersebut. Ia juga menuturkan, nelayan-nelayan masih bandel jika dihimbau untuk datang ke kantor kepala Desa. Misalnya saja untuk program 7000 wajib KTP, hanya 5000 saja yang sudah mengurusnya di kantor kepala desa. “Nanti kalau sudah sakit, baru mereka menyalahkan aparat desa karena tidak kebagian berobat gratis,” kilahnya dengan nada sedikit kesal.

Menyinggung masalah kesejahteraan nelayan-nelayan desa Pengambengan, Abdulrafiq mengatakan masih terdapat 341 KK yang tergolong miskin. Menurutnya, masalah pendidikan memang mempengaruhi angka kemiskinan di Pengambengan. “Dahulu, memang nelayan di sini sering menghamburkan uangnya pada saat panen raya. Tetapi beberapa tahun terakhir ini sudah banyak yang berpikir maju dan mulai menabung penghasilannya pada saat musim panen raya tiba,” terangnya.

Teks: Nanoq da Kansas
Foto: dok Bali Bocara

0 komentar:

Posting Komentar