berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

19 Juli 2010

Menunggu Keberpihakan Pemerintah (Bali) Kepada Petani

Oleh: Gede Yasa Arimbawa

Pariwisata masih merupakan sektor idola masyarakat Bali, namun di sisi lain pariwisata belum mampu mengakomodir kepentingan petani yang merupakan golongan paling rentan terhadap perubahan. Untuk itu diperlukan regulasi yang mampu menciptakan simbiosis mutualisme antara pariwisata dengan pertanian. Bukan seperti sekarang, pariwisata hanya mengambil subak saja, petani sebagai pemilik sah subak tidak ”katut”. Penciptaan simbiosis ini tentunya memerlukan political will yang kuat dari pemerintah selaku regulator.

Masyarakat Bali di masa lalu adalah masyarakat agraris yang hidupnya dari hasil pertanian. Mereka tahu, tanah Bali merupakan tanah subur yang sangat menjanjikan hasil panen. Disamping dengan pengelolaan pertanian sedemikian rupa, leluhur orang Bali di masa lalu menjaga betul hasil pertanian dengan mengadakan ”selamatan” kepada tanaman yang dikenal dengan Tumpek Pengarah yang jatuh pada 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.

Itulah petani yang hidup sederhana, sesederhana pemikirannya. Mereka setia bertahan dengan segala keterbatasan. Meskipun seringkali penghasilan dari pekerjaan bertani kurang untuk menutupi biaya dapur. Kita sering tidak ngeh dengan kondisi ini karena pertanian di Bali ditutupi oleh nama besar Subak yang menjadi kebanggaan Bali. Subak juga sering ''dijual'' untuk memperkenalkan Bali di mancanegara. Namun ironisnya, krama subak - petani – yang kini sudah tak berdaya di balik nama besar itu, tidak pernah disinggung.

Di sisi lain, terjadi perubahan komposisi dan jumlah petani. Data Sensus 2003 menunjukkan, saat ini pertanian didominasi oleh kelompok umur lanjut (>45 tahun), sedangkan untuk kelompok umur sedang dan muda menurun nyata. Petani usia muda di bawah 25 tahun kurang dari dari 5% bahkan di kabupaten/kota seperti di Gianyar dan Denpasar persentase petani muda di bawah 25 tahun hanya mencapai 1,2% dan 1,4% dari total jumlah penduduk. Mereka menganggap pertanian kurang menjanjikan. Biaya produksi dibandingkan yang diterima (pendapatan) tidak seimbang. Dari data, di Indonesia, profesi petani merupakan sektor berpenghasilan terendah, berkisar 438.149/bulan dibandingkan upah buruh bangunan sebesar 734.070/bulan. Petani mengalami penyudutan berupa kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan yang menyebabkan pendapatan petani per rumah tangga maupun per kapita sangat rendah.

Hal ini terasa sangat kontradiktif dengan hingar-bingar pariwisata Bali yang mampu mendatangkan 1,5 juta lebih wisatawan manca negara dengan menghasilkan devisa Rp. 1,9 trilyun. Belum lagi investasi pariwisata di Bali yang mencapai Rp. 36,3 triliun dalam sepuluh tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Bali pun terus merangkak naik dari pascakrisis 1999 hanya sebesar 0.69%, mencapai 5,9% pada 2006. Pada 2007 ini, pertumbuhan dipastikan naik lagi menjadi 6%. Bahkan pada 2008 mendatang, sejumlah pengamat memprediksi pertumbuhan ekonomi Bali akan bisa menyentuh angka 7%. Namun, apa yang terjadi di balik itu? Ironis. Ketika pertumbuhan ekonomi Bali terus merangkak naik, jumlah penduduk miskin di Bali justru ikut merangkak naik. Badan Pusat Statistik Bali mencatat hingga Maret 2007 total penduduk miskin di Bali sebanyak 229.000 orang. Jumlah itu 6,63% dari total penduduk Bali sekitar 3,4 juta orang. Padahal data yang diperoleh pada Juli 2005 silam mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 228.400 orang. Tingginya pertumbuhan ekonomi yang ternyata berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan di Bali, menunjukkan betapa pariwisata di Bali belum mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Bali itu sendiri.

Fakta di atas menunjukkan, kendatipun penuh dengan gemerincing dollar, pariwisata Bali belum mampu mengangkat seluruh masyarakat Bali dari jurang kemiskinan. Bagaimana bisa? Industri pariwisata yang sedemikian glamour penuh dengan gemerincing dollar ada di depan mata ternyata tidak mampu digapai oleh masyarakat Bali. Investasi pariwisata yang demikian besar, 75%nya ternyata milik orang asing. Penduduk Bali hanya menjadi ”buruh” di negerinya sendiri. Menjadi ”buruh” pariwisata dengan meninggalkan pertanian yang nota bene merupakan warisan leluhur. Kondisi ini semakin parah manakala, pemerintah tidak juga berpihak kepada petani. Keberpihakan pemerintah tersebut akan dapat menekan kemiskinan di Bali pada titik yang paling rendah.

Dari fakta itulah, semestinya kita berkaca. Pariwisata masih merupakan sektor idola masyarakat Bali, namun di sisi lain pariwisata belum mampu mengakomodir kepentingan petani yang merupakan golongan paling rentan terhadap perubahan. Untuk itu diperlukan regulasi yang mampu menciptakan simbiosis mutualisme antara pariwisata dengan pertanian. Bukan seperti sekarang, pariwisata hanya mengambil subak saja, petani sebagai pemilik sah subak tidak ”katut”. Penciptaan simbiosis ini tentunya memerlukan political will yang kuat dari pemerintah selaku regulator. Terjadinya penciptaan hubungan yang sinergis antara pariwisata dengan pertanian diyakini akan mampu meratakan pendapatan antara sektor pertanian dengan pariwisata sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang terlalu jauh. Kongkritnya, pariwisata harus mampu menampung segala macam hasil pertanian Bali. Kondisi sekarang, kebutuhan pariwisata Bali banyak dipasok oleh daerah di luar Bali. Padahal produk yang dipasok tersebut, tersedia dalam jumlah cukup di Bali.

Akan sangat indah jika kondisi itu bisa terbangun. Para petani akan tersenyum paling sumringah. Tidak ada lagi cerita sedih dari petani. Sumringahnya petani tentu juga menjadi jaminan terhadap eksistensi subak sebagai ikon pariwisata Bali. Pemberian nilai ekonomis terhadap subak merupakan langkah jitu untuk melestarikannya. Di sisi lain penurunan luas sawah di Bali yang mencapai 0,92% pertahunnya diyakini akan bisa ditekan. Jumlah pengangguran, terutama usia produktif, juga diyakini akan menurun karena telah diserap bidang pertanian yang kini telah bermetamorfosa menjadi sebuah mata pencaharian yang “bergengsi”. Namun yang terpenting, pariwisata Bali menjadi pariwisata yang berdaulat dan berkeadilan. Minimal berdaulat dalam hal memenuhi kebutuhan pangan pariwisata Bali. Berkeadilan yang dicerminkan dengan pemerataan pendapatan. Tingginya pendapatan perkapita masyarakat Bali harus diimbangi dengan distribusi yang proporsional kepada masing-masing penduduk Bali.

Semoga jeritan ini bisa diakomodasi oleh pemimpin-pemimpin Bali sehingga sebutan Bali adalah "Morning of the World" dari Perdana Menteri Nehru memang benar adanya. Ya, semoga!

Penulis adalah alumnus Fakultas Sastra Jurusan Antropologi UGM
Tinggal di Jembrana

0 komentar:

Posting Komentar