berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Tetesan Peluh di Kulit Keriput

Sore itu Kiang Sandra baru berhasil mengisi satu dari dua lubang ekrak-nya dengan rumput. Tetapi hujan tiba-tiba turun dengan deras menghapus cuaca gerah bermendung tebal sebelumnya. Lelaki petani berusia 60 tahun itu lalu bergegas menuju kubu¬ reot yang ada di tengah-tengah kebunnya. Setelah menyeka keringat bercampur air hujan di tubuhnya yang tak berbaju, Kiang Sandra lalu mengambil bungkusan plastik berisi tembakau murahan di saku celana komprang¬-nya. Sejurus kemudian asap pekat menghembus dari bibir dan hidungnya. Tak jelas benar, apakah hembusan nafas yang keras itu adalah karena kenikmatan rokok lintingan yang dihisapnya, ataukah sebagai pertanda akan kelelahan panjang dari hari-hari yang dilakoninya sendirian.

Sambil sama-sama menunggu hujan reda, kami memandangi deretan pohon coklat di kebun yang tak seberapa luas itu. Sulit untuk membayangkannya, mungkinkah deretan pohon-pohon coklat yang sudah tua dan tidak cukup subur itu menghasilkan panen yang mampu menutupi kebutuhan sehari-harinya? “Kalau hanya sekedar untuk makan, ya cukuplah. Tapi saya punya hutang di bank dan cicilan sebuah sepeda motor. Anak lelaki saya satu-satunya butuh sepeda motor untuk transport sehari-hari. Dia meburuh di Denpasar. Sedangkan hutang di bank itu adalah untuk biaya istri saya ketika sakit dulu,” demikian Kiang Sandra bercerita.

Obrolan selanjutnya, adalah tentang keinginan lelaki bercucu dua itu untuk memperbaiki kebunnya. Konon sudah lama dia ingin meremajakan tanaman coklatnya, ingin memupuk kebunnya itu karena menurut petugas penyuluh lapangan (PPL) perkebunan kondisi tanahnya sudah tidak bagus lagi. Dia juga ingin membuat parit di sekeliling kebunnya untuk menampung guguran daun-daun tua dan kotoran dua ekor sapinya agar bisa dijadikan pupuk kompos. “Tapi itu belum terwujud sampai sekarang. Mungkin tak akan terwujud karena tenaga saya sudah tidak kuat lagi. Jadi, ya, biarkan saja seadanya seperti ini,” ujarnya putus asa.

Ketika ditanya kenapa tidak memulangkan saja anaknya yang meburuh di Denpasar itu untuk membantunya, Kiang Sandra hanya menggeleng. “Tidak mau. Sudah beberapa kali saya minta dia pulang dan menjadi petani saja, tapi anak saya itu tidak mau. Katanya menjadi petani itu tidak akan bisa membuat maju,” demikian kakek itu dengan nada masgul.

Pada sebuah kesempatan lain di sebuah kawasan persawahan di Tabanan, Pan Warti (65), juga sedang merenung di pematang sawahnya. Ditemani seorang cucu perempuannya yang sudah menikah, kakek ini mepuah, mengusir ribuan burung nakal yang mencuri bulir-bulir padi yang baru mekuma santen itu. “Kalau tidak ditunggui, tiga hari saja padi-padi ini sudah akan habis bijinya. Kalau sudah begitu, hasil panen pun tak akan cukup untuk menutupi hutang. Saudagar akan membelinya dengan sangat murah,” ujarnya.

Pan Warti bercerita, jika saja dia tidak harus memakai tenaga buruh untuk mengerjakan sawahnya, tentu hasil panennya bisa menutupi banyak kebutuhan hidupnya. Sayangnya, dua orang cucu lelakinya yang tamatan SMA, tidak mau tinggal di desa untuk bertani. Seperti sebagian besar anak-anak muda setempat, mereka pun pergi ke Ubud menjadi buruh. “Dua cucu saya itu semua bekerja di Ubud. Katanya mereka bekerja di art shop sambil belajar ngukir. Sudah enam tahun lalu, sejak ayah mereka meninggal,” Pan Warti bercerita.

“Tak satu pun cucu saya mau menjadi petani. Bahkan keponakan saya telah menjual sebagian sawah warisan untuk membiayai anaknya sekolah pariwisata. Sekarang anaknya kerja di hotel,” lanjut Pan Warti.

Kiang Sandra dan Pan Warti ternyata tidaklah sendiri. Ratusan bahkan ribuan petani di seantero Bali memiliki problem yang sama. Bahwa, mereka rata-rata sudah terlalu tua untuk bekerja di kebun atau di sawahnya, sementara anak-anak serta cucu-cucu mereka yang masih muda tak pernah sudi berada di desa menjadi petani. Kota, dan tentu saja industri, menjadi pegawai negeri atau pegawai perusahaan suasta, adalah tujuan utama para generasi muda Bali saat ini.

Inilah salah satu lagi ironi tentang Bali. Bali yang dikenal sebagai bangunan budaya agraris (dulu), kini hanyalah sebuah bangunan rapuh yang jika tidak segera mendapat perhatian dan langkah-langkah penyelamatan, akan segera rontok di tengah budaya hedonis yang terus menggerus saat ini.

Sementara itu pemerintah selalu menekankan bahwa pertanian harus diselamatkan. Tanah-tanah pertanian, baik perkebunan maupun persawahan harus dicegah dari pengalihfungsian lahan yang semakin menggila. Tetapi jika petani yang tersisa hanya para sepuh dengan tenaga mereka yang sudah tua, bagaimana mungkin pertanian itu bisa diselamatkan? Bagaimana mungkin Bali dengan pertaniannya bisa dilestarikan? Adalah sangat konyol kedengarannya kampanye-kampanye pemerintah atas penyelamatan dan pelestarian pertanian di Bali di tengah semangat kaum muda Bali untuk meninggalkan kehidupan bertani itu sendiri!

Teks: Nanoq da Kansas
Foto: De’a Yogantara

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...


Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar