Dalam konsep kehidupan tradisional di Bali, ada istilah swadharma yang secara harfiah bisa diartikan dengan profesi. Dan profesi jelas bisa bermacam-macam. Dari macam-macam profesi itu, dalam konteks sosial dibagi menjadi dua golongan besar, yakni profesi halal dan profesi haram. Namun kedua golongan profesi ini toh muaranya cuma satu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah memenuhi tuntutan perut lapar. Perut lapar pun barangkali juga bisa dibagi menjadi dua golongan, yaitu perut lapar orang kaya dan perut lapar orang miskin. Berikut ini Bali Bicara menurunkan penuturan atau tepatnya semacam pengakuan dari beberapa narasumber yang identitasnya kami rahasiakan, dengan berbagai macam profesi mereka yang semata-mata mereka lakukan demi tuntutan perut lapar itu sendiri, khususnya perut lapar orang miskin!
Saya Nova. Saya menjadi pelacur karena saya miskin. Saya, apalagi anda, tidak perlu tahu kenapa keluarga saya miskin. Sejak lahir saya memang menemukan keluarga saya miskin. Tinggal di desa dengan rumah gubuk yang sudah lapuk di sana-sini. Bapak saya hanya seorang buruh serabutan di desa. Kadang-kadang jadi kuli jalan, kadang-kadang jadi buruh tani, kadang-kadang jadi penggali pasir di kali, kadang-kadang jadi kuli pemetik kelapa.
Ibu saya juga kuli. Dia mengerjakan apa saja yang disuruh tetangga. Dengan usaha itulah dulu orang tua saya menyekolahkan saya sampai bangku SMA suasta. Lalu saya ke kota jadi pembantu. Tapi gaji saya kecil sekali. Sebagian saya kirim ke kampung untuk membantu orang tua, sebagian untuk saya sendiri sekedar beli baju.
Dua tahun saya jadi pembantu, kehidupan saya tak maju-maju. Sementara tuntutan orang tua juga makin besar karena mereka harus menyekolahkan dua orang adik saya lagi. Saya kasihan sama mereka. Saya tertarik jadi pelacur karena itulah satu-satunya jalan yang paling mungkin saya tempuh. Untuk profesi ini awalnya saya dibantu oleh seorang germo yang menampung banyak gadis seperti saya. Tapi akhirnya saya jalan sendiri setelah punya banyak kenalan bos-bos. Saya tidak terpaksa, tetapi ini saya lakukan dengan sadar. Orang tua saya juga tahu apa yang saya lakukan, karena saya pernah diantar pulang kampung oleh beberapa pelanggan saya. Mula-mula saya bilang mereka adalah pacar saya, tetapi karena terlalu sering berganti-ganti, orang tua saya jadi curiga. Lalu saya berterus terang saja sama mereka.
Orang tua saya tidak marah. Saya tidak malu. Kami realistis saja. Kemiskinan tak bisa dihadapi dengan jalan yang lurus-lurus saja. Kemiskinan harus dihadapi dengan gesit dan peluang apa saja. Tidak usah mengharap bantuan dari pemerintah. Pemerintah bisanya cuma segitu saja. Paling-paling juga dibantu ternak, atau dibantu BLT. Justru inilah yang tidak realistis.
Harapan saya sekarang, saya bisa segera berhenti dari profesi ini. Saya ingin menikah karena sekarang umur saya sudah 27 tahun. Saya ingin mendapat suami yang punya pekerjaan tetap, entah PNS, karyawan suasta, ataupun yang punya usaha sendiri dan sudah punya rumah. Sekarang saya juga sudah punya tabungan sedikit. Saya punya ATM di BCA. Kalau saya menikah nanti, saya ingin punya usaha salon. Dulu saya sempat menjalani rehabilitasi dan mendapat pelatihan keterampilan salon. Saya tidak fanatik pada agama. Saya yakin, agama semua baik dan Tuhan bukanlah teroris bagi insanNya. Tuhan Maha Adil.
Saya Kacrut. Dari tahun 1998 sampai 2006 saya melakoni pekerjaan sebagai buruh penebang kayu ilegal di kawasan hutan Bali Barat. Bos saja berganti-ganti. Dari orang luar sampai warga lokal pernah mengajak saya. Saya hapal betul kawasan hutan Bali Barat yang masih ada kayu besarnya. Dulu saya juga tahu oknum-oknum yang bisa disogok agar tidak menangkap kami.
Pekerjaan itu dulu terpaksa saya lakukan karena saya miskin. Saya tamatan SMEA lalu jadi pengangguran karena tidak pernah lulus saat melamar pekerjaan. Orang tua saya petani, punya tanah warisan 50 are berisi kelapa dan pisang. Tapi itu tak cukup untuk hidup normal. Bahkan saat sekolah dulu saya tak punya sepeda motor. Sekarang saya punya sepeda motor dua. Satu untuk saya, satunya lagi untuk istri saya yang berjualan sayuran keliling.
Sebagian besar kawan-kawan saya yang dulu menjadi buruh penebang liar adalah orang miskin di desa-desa dekat kawasan hutan. Daripada tidak maju-maju, kami ambil jalan pintas. Kebetulan saat itu peluang memang ada. Saya pernah bekerja sebagai pengayah tukang bangunan. Tapi itu tidak rutin karena jarang ada orang membangun rumah. Saya juga pernah jadi kuli bangunan di Denpasar dan kawasan Bukit Badung, tinggal di bedeng-bedeng. Tapi gajinya tidak seberapa dan tidak mungkin bisa saya kumpulkan untuk membangun rumah. Sekarang saya menjadi tukang ojek. Tapi sekarang penumpang ojek sudah sulit. Saya masih pikir-pikir mau kerja apalagi sekarang ini.
Saya Bracuk. Sejak lima tahun ini saya berjualan togel kecil-kecilan. Sehari kadang saya dapat penghasilan 30 ribu, kadang sampai 40 ribu. Sekarang susah jualan togel. Harus main kucing-kucingan dengan petugas. Kalau kena tangkap tidak ada ampun.
Ini terpaksa saya lakukan karena kesulitan ekonomi. Dari bujang sampai sekarang punya anak dua, saya belum pernah dapat pekerjaan tetap. Sehari-hari saya bertani menggarap kebun milik orang dari Denpasar karena keluarga saya miskin dan tak punya tanah. Saya juga punya satu ekor sapi dari hasil berjualan togel. Dulu sempat menerima seekor bantuan sapi dari pemerintah, tetapi mati karena kena penyakit. Saya sedih sekali waktu itu. Sapi bantuan itu mati pada saat sedang bunting anak pertamanya. Sejak itu, saya belum pernah lagi menerima bantuan apa-apa dari pemerintah.
Sebelum jualan togel, dulu saya pernah ikut buka judi bola adil. Saya cuma meburuh jadi tukang bawa peralatan bola adil itu. Biasanya kami membuka permainan di arena-arena tajen gelap. Sementara bos saya membuka permainan, saya ditugasi menjaga “tamu” di jalan oleh penyelenggara tajen. Kalau ada “tamu” datang, saya bertugas menyambutnya dengan menyerahkan uang rokok antara Rp. 25.000 sampai Rp. 50.000 agar tajen tidak dibubarkan.
Harapan saya sekarang, pemerintah harus lebih nyata bertindak untuk mengentaskan kemiskinan ini. Saya sudah bosan menunggu perubahan. Setiap ada pemilu saya selalu mendengar janji-janji dari para calon pemimpin akan menyejahterakan masyarakat. Mana buktinya? Setelah mereka terpilih, rakyat macam saya ini tetap saja begini. Sudah berkali-kali ganti presiden, ganti gubernur, ganti bupati, ganti kepala desa, saya tetap saja miskin. Saya memang pernah mendapat bantuan raskin dan BLT. Tetapi itu jadi gunjingan para tetangga. Katanya masak hanya orang macam saya saja yang berhak mendapat BLT dan raskin? Ya, saya pikir-pikir bantuan macam begitu memang kurang tepat. Tidak efektif dan tidak berumur panjang. Yang saya rindukan adalah pemerintah yang membantu masyarakat miskin secara tuntas. Bukan memberikan bantuan sepotong-sepotong setelah itu menunggu pemilu lagi baru memberi bantuan lagi.
Saya Bos, panggil saja begitu. Profesi saya calo. Calo macam-macam, dari calo tanah, calo barang bekas sampai calo perempuan malam. Khusus untuk yang terakhir ini, saya lakoni sejak empat haun lalu secara tidak sengaja. Saat itu saya sedang nongkrong di sebuah pangkalan ojek pinggir kota di dekat suatu hotel. Tiba-tiba ada tamu dari luar daerah mendekati saya. Setelah basa-basi sebentar, bapak itu tiba-tiba menanyakan apa saya bisa membantunya mencarikan teman tidur?
Pertamanya saya kaget dan curiga, jangan-jangan dia menjebak saya. Tetapi setelah dia meyakinkan saya bahwa dia tidak akan menjebak, saya lantas menghubungkannya dengan seorang kawan yang bekerja di sebuah hotel lain. Kawan saya itu lalu datang. Bernegosiasi sebentar, lalu mereka meluncur ke suatu tempat.
Sejak saat itulah saya mulai tertarik dengan pekerjaan sambilan ini. Kini saya sudah biasa melayani para tamu atau para bos dengan jasa calo teman kencan ini. Saya bekerjasama dengan banyak kawan. Kami masing-masing menyimpan nomor HP gadis-gadis bookingan. Banyak. Di sini banyak kok. Dari SMA sampai yang sudah profesional ada. Saya punya nomor HP mereka.
Ya, ini memang terpaksa saya lakoni. Daripada anak tidak makan dan istri tidak masak di rumah. Yang penting saya kan tidak memaksa pihak manapun juga. Saya hanya bertugas sebagai penghubung. Dapat uang rokok, uang bensin dan sekedar uang untuk beli beras sudah cukup. Semua pihak sama-sama mengerti.
Saya Samar. Sebut saja begitu, karena banyak tetangga yang mengatakan saya mirip wong samar. Saya orang miskin dari dulu. Mulanya sebelum tahun 1965, keluarga saya punya tanah. Tetapi saat ada Gestok tahun 65, tanah keluarga saya dirampas yang berwajib karena bapak saya dituduh PKI. Waktu itu umur saya kira-kira sembilan tahun. Kami sekeluarga diusir dari desa kami. Jika kami tidak pergi, kami diancam akan dibunuh.
Sejak saat itulah kami jadi miskin. Numpang tinggal di mana-mana, menggarap tanah milik orang lain. Kini orang tua saya sudah tidak ada. Waktu Orde Baru, saya pernah ingin ikut transmigrasi, tapi tidak dapat ijin karena saya tidak punya KTP. Waktu itu saya dan keluarga memang tidak pernah mendapat KTP karena kami dianggap Eks-PKI.
Untuk menghidupi keluarga saat ini, saya bekerja apa saja. Saya disebut wong samar oleh para tetangga, karena saya juga sering bekerja malam hari. Saya terpaksa mencuri kecil-kecilan untuk menghidupi anak dan istri. Jika musim jagung, saya mencuri jagung di ladang orang. Jika musim ketela, saya mencuri ketela. Kadang-kadang saya mencuri ayam, buah coklat di kebun orang, atau bahkan juga mencuri buah-buahan jika musim buah. Kalau kepepet, saya juga mencuri pisang atau kelapa di kebun desa sebelah. Saya hanya mencuri untuk cukup makan sehari. Hasil curian saya jual untuk setengah kilo atau sekilo beras.
Dulu saat masih ada tanaman vanili, saya juga mencuri vanili. Waktu itu penghasilan saya lumayan karena harga vanili mahal. Beberapa kali saya juga pernah mencuri sarang walet di rumah walet milik juragan luar daerah. Ya, pokoknya saya harus mencuri untuk menghidupi keluarga. Saya pantang meminta. Meminta itu kurang berusaha. Mencuri itu adalah usaha bagi saya. Saya siap dengan resiko pekerjaan ini.
Teks: Nanoq da Kansas
Foto: De’a Yogantara
0 komentar:
Posting Komentar