berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Pemiskinan Kaum Buruh; Pelanggaran HAM Paling Nyata di Bali

Sayu, sebut demikian saja namanya, pergi meninggalkan desanya bersama suami untuk mengadu untung ke Denpasar. Mereka dengan berat hati meninggalkan satu-satunya anak lelakinya yang baru berumur enam tahun. Si buah hati mereka titipkan kepada nenek di desa. Satu dari seribu alasan mereka pergi bekerja di Denpasar adalah, karena mereka tak punya kebun atau sawah luas di desanya. Orang tua mereka “cuma” mewarisi mereka kebun seluas 15 are yang menampung beberapa rumpun pisang, beberapa batang pohon rambutan, beberapa puluh pohon coklat. Sebelum kerja di Denpasar, di samping memelihara kebun itu sang suami kadang-kadang bekerja sebagai pengayah tukang bangungan. Sementara Sayu memelihara dua ekor babi dan seekor sapi yang didapat dengan ngadas dari tetangga. Pendek kata, pasangan suami-istri ini adalah potret petani miskin secara umum yang ada di Bali, walau sesungguhnya tidak terlalu ada masalah dengan penghasilan mereka di desa. Seperti ungkapan yang lazim di desa, bahwa yang penting dapur berasap, sudah cukup.

Tetapi saban hari suami-istri ini berpikir, bahwa anak mereka kini sudah mulai sekolah dan semakin besar. Biaya hidup rumah tangga dan kebutuhan sekolah anak pasti akan bertambah. Tidak lagi hanya sekedar membuat dapur berasap, tetapi kehidupan selanjutnya pasti akan menuntut properti lebih banyak.

Setengah tahun bekerja sebagai cleaning service di sebuah restoran Jepang di kawasan Denpasar Selatan, dengan waktu kerja selama delapan jam sehari, Sayu menerima gaji Rp. 600 ribu tiap bulan. Tanpa tunjangan apa-apa lagi, hanya dapat makan sekali di dapur restoran, plus pakaian kerja. Sementara itu, sang suami bekerja di tempat lain dengan gaji Rp. 1.100.000 ribu tiap bulan plus biaya makan sekali sehari.

Jika dijumlah, penghasilan mereka berdua sebulan adalah Rp. 1.700.000. Lalu penghasilan itu dikurangi biaya sewa kamar kos (yang jauh dari manusiawi) 250 ribu, biaya sarapan pagi dan makan malam berdua 360 ribu sebulan, biaya sabun cuci, sabun mandi, odol, shampo, bedak, lipstik, deodoran, obat nyamuk bakar dan air minum untuk berdua sebulan sama dengan 150 ribu, lalu dikurangi lagi dengan cicilan kasur, sprei dan bantal serta TV 14 inc total 500 ribu tiap bulan, biaya BBM untuk dua buah motor karena tempat mereka bekerja berjauhan dan tidak searah rata-rata Rp. 300.000/bulan, maka gaji pasangan suami-istri ini tersisa Rp. 290.000 rupiah!

Di kawasan pusat wisata Kuta, ada seorang pemuda yang mengaku dari Kecamatan Seririt, Singaraja, bekerja sebagai waiter sebuah restoran hotel berbintang. Di tempat itu, sudah empat tahun dia bekerja bersama belasan karyawan lainnya. Kini, sebut saja pemuda itu Budi, “sudah berhasil” mendapat gaji Rp. 1.090.000 tiap bulan (sesuai UMK Badung), ditambah biaya makan Rp. 5.000 x 25 hari tiap bulan. Totalnya, Budi mendapat penghasilan Rp. 1.215.000 tiap bulan.

Dari total penghasian itu Budi harus bayar kamar kos Rp. 300.000 tiap bulan. Lalu biaya makan dan rokoknya sebulan Rp. 420.000. (Budi hanya beli nasi sekali dalam sehari, karena dia boleh makan sekali di tempat kerja). Di samping itu, Budi juga menghabiskan setidaknya 150 ribu sebulan untuk biaya lain-lain seperti peralatan cuci dan mandi serta persediaan air minum di kos. Dan yang paling krusial adalah kebutuhan BBM untuk motornya rata-rata Rp. 150.000/bulan. Jadi sisa gaji Budi setiap bulan adalah Rp. 195.000.

Lain lagi dengan Nengah dari Jembrana. Ayah dari satu orang putri berumur tiga tahun ini bekerja sebagai kurir di sebuah perusahaan pengiriman barang (istilah kerennya “kargo”) di Denpasar, milik pengusaha dari Jakarta. Sebagai pegawai tetap, Nengah menerima gaji pokok Rp. 600.000. Insentif Rp. 150.000, uang BBM Rp. 350.000, biaya servis rutin Rp. 75.000 dan biaya sewa motor Rp. 50.000. Total sebulan Nengah mendapat Rp. 1.225.000,-

Sama dengan kaum urban lainnya, Nengah juga harus membayar kamar kos Rp. 300.000 tiap bulan. Dia harus cari kos yang agak besar karena mengajak anak dan istri. Untuk kebutuhan makan (memasak sehari-hari dan susu anak), keluarga kecil ini mengeluarkan uang belanja rata-rata Rp. 500.000 tiap bulan. Biaya peralatan cuci dan mandi serta obat nyamuk sekeluarga Rp. 150.000 tiap bulan. Masih ada pengeluaran bulanan untuk patungan bayar listrik dan air di kos sebesar Rp. 30.000 tiap bulan serta biaya perawatan anak yang tak terduga rata-rata Rp. 100.000 tiap bulan. Maka secara hitung-hitungan kasar, keluarga kecil ini mendapat sisa pendapatan Rp. 145.000.

Pertanyaannya, bagaimana Sayu harus memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anaknya di desa dengan uang Rp. 190.000 sebulan? Kehidupan keluarga sejahtera yang bagaimana dapat dibangun oleh Nengah sekeluarga dengan uang sisa Rp. 145.000? Masa depan macam apa yang akan menyongsong Budi dengan kantong celana berisi Rp. 80.000?

Jangankan masa depan, menutup setiap akhir bulan dengan semestinya saja ternyata mereka tak bisa. Karena, sebagai warga manusia, yang kebetulan lahir dan tinggal di Bali, ternyata dalam setiap bulan mereka juga masih harus mengeluarkan biaya sosial semacam kundangan di sanak keluarga dan teman-teman yang punya hajatan, biaya upacara keagamaan di keluarga dan di desa, serta biaya untuk sepotong pakaian yang layak. Belum lagi biaya obat sakit gigi, sakit kepala, biaya ditilang polisi, biaya administrasi di kelurahan setempat sebagai penduduk pendatang, biaya parkir dan tetek bengek lainnya.

Dengan kondisi penghasilan segitu tiap bulan, sebagai warga bangsa, puluhan ribu Sayu, belasan ribu Budi dan belasan ribu Nengah, sama sekali belum bisa ikut merasakan kemerdekaan dan kedaulatan dalam hidupnya. Jangankan berharap mereka bisa menyumbang sesuatu untuk pembangunan di kampung dan desanya masing-masing, kemampuan dan kemerdekaan untuk menambal dinding rumah gedek orang tua di desa saja masih jauh di awang-awang.

Bahwa kemudian siapapun boleh berpendapat, lowongan dan kesempatan kerja yang seolah-olah diciptakan serta dibuka oleh kapitalisasi pariwisata dengan segala aspek dan imbasnya di Bali, bukanlah anugerah seperti yang dibayangkan selama ini. Tidaklah berbeda dengan kehadiran penjajah yang jelas-jelas mengabaikan etika kehidupan dan hak azasi manusia (HAM) di bumi yang merdeka ini, karena mereka ternyata tidak ada komitmen untuk merubah keadaan di sekelilingnya dari miskin dan bodoh menjadi lebih baik. Kesempatan kerja yang tercipta ternyata hanya sebatas untuk menampung cucuran keringat para buruh untuk semata-mata memajukan dan membesarkan usahanya sendiri. Apa lantas bedanya keberadaan pemuda-pemuda harapan masa depan yang bekerja di selangkangan gurita-gurita kapitalis pariwisata itu dengan rakyat Nusantara yang dulu bekerja rodi di bawah sepatu lars penjajah?

Inilah pelanggaran HAM berat yang terus terjadi di tanah Pulau Dewata. Adakah yang menyadarinya? Mungkin tidak! Karena elit-elit toh diam saja dan ikut menikmati semua itu. Karena masyarakat toh juga diam saja sambil terus silau oleh gemerlap lampu warna-warni hotel berbintang entah milik siapa, terus terpukau oleh keajaiban eskalator dan lift di mall-mall entah milik siapa, terus terkesima oleh deretan mobil mewah sepanjang jalanan Kuta hingga Sanur yang juga entah milik siapa.

Dalam konteks ini, sungguh, Bali telah mengubur dengan gembira hak azasi manusia dengan uang receh yang tercecer dari bikini-bikini para turis yang datang membeli sinar matahari senja pantai, yang datang membeli udara segar pegunungan, yang datang membeli seledetan penari legong di sudut-sudut muram halaman hotel berbintang. Tetapi tak ada yang berdaya merubahnya.

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...


Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar