berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

13 Oktober 2010

Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional 2010: Investasi Masa Depan

Senin pukul tujuh pagi, 26 Juli 2010. Hujan sejak semalam tak juga hendak berhenti. Ubud, desa internasional di jantung Pulau Dewata itu, terasa lebih sepi dari biasanya. Halaman hotel Rijasa Agung yang terletak di pinggir jurang itu pun masih lengang. Hawa dingin yang menusuk pori-pori, seakan mencegah para tetamu yang menginap untuk keluar dari balik selimut tebal. Bahkan air hangat di kamar mandi yang begitu mewah, seakan tak berdaya membujuk para tamu hotel untuk berbenah memulai aktivitas.

Tapi di tengah hawa dingin yang berhujan itu, toh membuat setidaknya 12 orang tamu khusus harus sedikit bergegas menunggu jemputan di loby hotel. Mereka adalah tim juri yang akan segera diboyong ke Istana Kepresidenan Tampaksiring, untuk melakukan penjurian atas karya-karya puisi, lukis, lagu dan batik 231 orang siswa SD dan SMP dari 33 provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Ya, hari itu adalah hari di mana Lomba Cipta Seni Pelajar Nasional Tahun 2010 dilaksanakan di Istana Kepresidenan Tampaksiring, Bali.

Kilas Balik
Kegiatan Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional ini diselenggarakan sebagai tindak lanjut dari himbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2006 di Taman Mini Indonesia Indah. Saat itu, kegiatan ini bertajuk Lomba Lukis dan Cipta Puisi.

Tahun ini, adalah merupakan penyelenggaraan yang ke lima, diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Kementerian Pendidikan Nasional. Kerjasama dua kementerian ini sesuai dengan arahan Presiden pada Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-anak Tingkat Nasional tahun 2008 di Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat. Saat itu Presiden menyatakan dukungan sepenuhnya kerjasama dua kementerian ini untuk bersama-sama menyelanggarakan salah satu program pembinaan anak-anak melalui “Lomba Cipta Seni Anak-anak”.

Pada penyelenggaraan tahun 2010 ini, lomba dikemas dengan cakupan yang lebih luas, dengan nama Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nassional Tahun 2010. Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah “Kenali dan Cintai Budaya Negerimu”.

Kegiatan yang dilaksanakan tanggal 26 Juli 2010 di Istana Kepresidenan Tampak Siring ini melupakan lanjutan dan pengembangan kegiatan tahun-tahun sebelumnya, baik dari segi kualitas maupun kepesertaan. Tahun 2006 sampai 2008 hanya dua materi yang dilombakan, yakni lomba lukis dan lomba cipta puisi, tahun 2009 tiga materi yakni lomba lukis, lomba cipta puisi dan lomba cipta lagu. Tahun 2010 ini materi ditambah menjadi empat jenis, yaitu lomba lukis, lomba cipta puisi, lomba cipta lagu dan lomba desain motif batik.

Mengembangkan Potensi Diri
Direktur Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman, dalam sekapursirihnya mengatakan, dengan tema “Kenali dan Cintai Budaya Negerimu”, panitia dan pemerintah bermaksud menjaka anak-anak memahami, memaknai serta mencintai keindahan dan keelokan negeri, untuk selanjutnya berkewajiban merawat, memelihara dan senantiasa pandai bersyukur atas negerinya. “Dengan demikian, watak dan kepribadian generasi penerus akan kuat di bidang logika, mengerti etika dan mencintai estetika. Ada waktu untuk belajar, ada waktu untuk berdoa, dan ada waktu untuk berkontemplasi. Belajar dan berdoa dilakukan setiap hari, kontemplasi dilakukan guna mensyukuri serta mengevaluasi apa yang sudah dicapai,” demikian Tjetjep.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jro Wacik, juga mengatakan, kegiatan ini memberikan kesempatan kepada anak didik tingkat SD dan SMP di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitasnya secara kompetitif dan spontan. “Yang paling penting, kegiatan ini harus dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan potensi diri generasi muda terhadap kepekaan imajinasi serta kemampuan ivovasi agar menjadi bekal masa depan yang cerdas, mampu bersikap kritis dengan tetap dalam kaidah etis dan estetis,” demikian Menbudpar.

Lebih jauh Menbudpar mengatakan, lomba cipta seni pelajar diharapkan meningkatkan citra positif dunia seni anak-anak sebagai bagian dari kearifan lokal untuk mengarahkan watak dan kepribadian anak agar kuat di bidang logika, etika dan estetika sejak usia dini.

Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, juga mengatakan lomba cipta seni merupakan salah satu wahana yang efektif untuk mengekspresikan kompetensi estetika anak-anak. Bahwa kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini sejalan dengan Program Kemdiknas berkait pendidikan karakter. “Pendidikan karakter yang dikembangkan bukan hanya soal sopan santun. Tetapi lebih dari itu, kita ingin membangun karakter-budaya yang menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk mengembangkan kreativitas dan daya inovatif yang dijiwai dengan nilai kejujuran dan dibingkai dengan kesopanan dan kesantunan. Ada dua pendekatan dalam pendidikan karakter. Pertama, habituasi atau pembiasaan-pembiasaan, dan yang kedua adalah intervensi kebijakan. Lomba ini adalah bagian dari dua pendekatan itu, habituasi dan intervensi kebijakan,” papar Mendiknas.

Kendati dalam suasana hujan yang hampir tak pernah berhenti, pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Siswa-siswi SD dan SMP peserta lomba tampak sangat antusias dan percaya diri dengan kemampuan masing-masing. Ini bisa dimaklumi, karena setiap peserta adalah siswa terbaik di bidangnya di masing-masing provinsi.

Lebih-lebih ketika Presiden dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono berkeliling mendekati anak-anak yang suntuk berkarya, suasana pun semakin meriah terutama para guru pendamping yang berlomba-lomba membidikkan kamera saat anak didik mereka didekati Presiden. Panitia pun sampai harus mengingatkan berkali-kali agar para guru pendamping tidak berada terlalu dekat dengan siswa-siswi yang berlomba. “Semoga tahun depan murid dari sekolah kami bisa terpilih lagi untuk mewakili provinsi kami,” demikian seorang ibu guru berharap.

Foto: Nanoq da Kansas
Selengkapnya...

Penguatan Fundamen Pendidikan Karakter

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera

PELIKNYA kondisi yang ada disekitar tunas bangsa saat ini membuat banyak kalangan prihatin. Sehingga muncul kegundahan bernada “mau dibawa ke mana anak-anak Indonesia ke depan?”. Jika berani memetan setiap permasalahan yang ada mengelilingi anak-anak, pendidikan adalah salah satu jawaban yang dengan mudah keluar dari setiap mulut penghuni republik ini.

Pendidikan telah sejak lama diperjuangan oleh para pahlawan seperti Ki Hajar Dewantara, dkk yang nilai-nilai patriotismenya selalu dan akan selalu diperingati setiap tahun di bulan Mei. Selalu ada wacana yang hampir sama dibeberapa tahun terakhir ketika berbicara pendidikan. Pendidikan Karakter terus mengemuka seiring dengan tuntutan untuk meletakkan pendidikan pada ramah yang penting bagi tunas muda bangsa.

Azyumardi Azra (2010) dalam artikel Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru.

Masyarakat Indonesia baru adalah kebutuhan untuk melihat generasi mendatang dengan penguatan nilai-nilai dan rasa ke-Indonesia-an berpegang pada pancasila dan undang-undang dasar 1945. Nilai dan rasa ini kemudian sudah seharusnya diimplementasi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan nilai dilakukan dengan penanaman rasa sejak dini yang kemudian dilakukan secara berlanjut hingga ke institusi masyarakat umum. Kesemuanya bermuara pada moral.

Krisis moral sebagaimana dikemukan Muhammad Anis Matta (2002), menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam masyarakat yang tentunya tidak membuat masyarakat bahagia. Ada empat penyebab keterjebakan pada kondisi tersebut, yaitu adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika, hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya, munculnya antagonisme dalam pendidikan moral, dan lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral.

Moral menjadi bagian dari watak yang terbentuk sejak seseorang berinteraksi dari lingkungan terkecilnya, dengan demikian penguatan akan ajaran baik buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan susila lainnya menjadi mutlak. Penguatan terhadap dasar (fundamen) dari pendidikan karakter menjadi perhatian awal.

Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Keempat ciri ini dikemukakan oleh FW Foerster dalam buku Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Doni Koesoema A, 2007). Ciri dasar tersebut dapat dianalogikan sebagai fundaman untuk dapat menegakkan kokohnya jati diri generasi mendatang bangsa ini. Ciri yang diberikan Foerster dimulai dengan keteraturan interior, koherensi, otonomi, dan keteguhan kesetiaan.

Fundamen pertama menitik beratkan pada keteraturan interior dengan ukuran berdasarkan hierarki nilai terhadap setiap tindakan. Kunci dari fundamen ini adalah penguatan nilai yang menjadi pedomanan normatif dari setiap tindakan. Penguatan nilai dapat diperoleh dari ajaran agama, moral keluarga, aturan adat, ataupun semua jenis keteraturan yang merujuk pada kepatutan dan kelayakan.

Kedua, Koherensi yang memberi keberanian. Koherensi menjadi keselarasan yang mendalam antar nilai sehingga seseorang memiliki keteguhan akan prinsip, niat, dan guncangan yang akan timbul dalam diri. Kunci dari fundamen ini adalah penguatan akan rasa percaya terhadap satu sama lain. Rasa percaya dibangun karena adanya komitmen akan tujuan pencapaian. Kredibilitas sangat ditentukan dari fundamen ini.

Otonomi menjadi fundamen ketiga yang patut dikuatkan dalam pendidikan karakter. Otonom menjadikan seseorang menginternalisasikan aturan dari lingkungan dan nilai yang ada dalam diri untuk selanjutnya menjadi kesepakatan tindak dan laku pribadi. Internalisasi merupakan penghayatan terhadap suatu nilai yang diyakini dan disadari akan kebenaran nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Otonom memberikan seseorang dapat melakukan pemilihan dan penilaian atas keputusan tanpa intervensi dari pihak manapun.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Fundamen ini lebih bertitik tumpu pada daya tahan seseorang dalam melaksanakan apa yang dipandang baik, dan kekuatan untuk tetap patuh atas komitmen yang dipilih.

Penguatan keempat fundamen ini menjadi prasyarat yang harus diperhatikan dalam setiap metode ataupun bahan ajar dalam penanaman nilai dan rasa dalam pendidikan karakter. Alangkah indah dan tidak mustahil kiranya Masyarakat Indonesia Baru yang berkarakter akan hadir di bumi Nusantara ini.***


Prakoso Bhairawa Putera, lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Selengkapnya...

Winda Yudiari; Biola, Boneka dan Tengkorak

“Hidup ini mengalir. Maka aku pun mengalir di dalamnya. Aku tidak suka cara berpikir yang rumit, tetapi yang alamiah saja.,” demikian Inda di sebuah sore dalam obrolan di dunia maya, di akun facebook.

Dalam dunia nyata, kehadiran dara bernama lengkap Winda Yudiari ini barangkali bisa diibaratkan seperti angin di hamparan sawah. Terkadang lembut sekali, tetapi kadangkala terasa mendesir dan mampu meciptakan sederetan gelombang di pucuk-pucuk padi. “Sungguh menyenangkan rasanya membuat kehebohan-kehebohan kecil bersama teman-teman di sekolah. Hari-hari jadi terasa lebih berwarna,” tuturnya tentang keseharian yang dilakoninya di sekolah.

Siang itu, berbaluk dress kuning, Winda sedang duduk bersama kedua orang tuanya. Wajahnya sedikit pucat karena beberapa hari terakhir terkena demam. Tetapi demam sungguh tidak mampu memudarkan senyum penyuka boneka, biola dan tengkorak ini. “Biola, tengkorak, dan boneka adalah benda-benda yang mampu membangkitkan rasa percaya diriku. Ketiga benda itu sama-sama membuat aku lebih pe-de dalam bergaul. Mungkin karena aku juga bisa memainkan biola dan drum, jadi gampang kenal sama orang. Soal boneka, ke sekolah dan les pun aku bawa boneka. Aku suka memainkan biola dengan nada-nada lembut dan keras. Lembut kayak boneka dan keras kayak tengkorak. Jadi semua itu seimbang dalam hidupku,” tuturnya.

Walau dengan rendah hati mengaku belum terlalu mahir dalam bermain biola, namun pengakuan orang-orang atas eksistensi Inda adalah sebuah jawaban. Putri tunggal Yudiningsih dan Subiyantoro ini pernah mengisi biola dalam sebuah kolaborasi dengan kesenian jegog SMPN 4 Negara dalam sebuah pegelaran yang diselenggarakan BPRI Jembrana. Dari penampilannya dalam pagelaran itu, ia pun sering mendapat tawaran untuk pentas bersama.

Ditanya kenapa memilih biola daripada alat musik lain, dara cantik kelahiran 23 April 1992 ini mengatakan ingin sedikit berbeda dari remaja sebayanya. ”Memang saat ini kebanyakan remaja memilih gitar, drum, organ atau piano. Tapi aku sudah kecantol dengan biola. Bermain biola juga tidak terlalu susah bagiku. Makanya aku lebih mantap dengan biola, karena aku ingin beda dari orang lain. Inilah diriku,” ujarnya dengan rasa percaya diri.

Inda pun yakin bahwa suatu saat nanti kepopuleran biola akan sejajar dengan alat musik lainnya terutama di kalangan remaja di Jembrana. Tapi itu perlu banyak waktu dan keseriusan para remaja untuk mengenal alat musik tersebut. “Saya harap biola bisa merambah di tengah-tengah kesibukan para remaja Jembrana saat ini. Dan saya yakin pula, biola pastinya akan lebih disukai remaja jika mereka sudah mengenalnya lebih jauh, apalagi memainkannya dengan serius.” demikian dara yang kini bergabung dalam sanggar musik Melodya di Jembrana ini.

Teks: Yuli Astari
Foto: Koleksi Winda

Selengkapnya...

Rumah Panggung Riwayatmu Kini

Oleh R. Azhari

Dalam obrolan ringan di sebuah pos kamling, penulis sangat tertegun ketika teman diskusi membuka topik tentang situs rumah panggung, rumah yang dianggap cermin awal peradaban datuk moyangnya dahulu kini sedang mengalami kepunahan populasinya semakin menyusut dan tak tergantikan. Bangunan yang pernah menjadi ikon masyarakat loloan kini kurang mendapat perhatian untuk dijaga kelestariannya. Kawasan loloan pada awal pemukiman adalah merupakan konsesi raja-raja di Jembrana kepada pendatang ‘kampung loloan’ kala itu belum mengenal bangunan dari batu beton seperti sekarang ini, hanya dikenal bangunan kayu berupa rumah panggung sebagai karya dari negeri seberang.

Dari bangunan itulah lahir tradisi yang dibawa dari negeri asalnya dipelihara dan dijaga kelestariannya, kini kondisinya sangat memprihatinkan seakan hampir kehilangan roh dan akar dari kulturnya. Kenyataan ini dapat dilihat dari betapa banyaknya rumah panggung telah berubah bentuk bahkan lenyap dari tempatnya semula dan kemudian semakin langkanya dijumpai kebiasaan yang menjadi pelengkap tradisi pada suatu ritual keagamaan. Ini menandai semakin kritisnya keberadaan nilai-nilai yang pernah dibawa datuk moyang sebagai pembentuk identitas mereka.

Penulis memahami kegalauan teman ini ketika melihat wajah kampung halamannya telah banyak mengalami perubahan fisik, pelan dan pasti situs bangunan-bangunan tradisional (rumah panggung) yang semula dipelihara sebagai kawasan budaya kebanggaan kultur masa lalu kini mulai redup dikikis peradaban baru, sebuah ironi budaya yang meski mendapat perenungan untuk penelusuran bahan kajian.

Sikap skeptis masyarakat terhadap perubahan waktu untuk mempertahankan rumah-rumah adat ini belum tersentuh oleh siapapun juga bahkan kepedulian masyarakat sendiri pun seakan sulit untuk berpaling kepada siapa persoalan ini untuk diadukan.

Sebuah kesenjangan budaya telah terjadi disini begitu melebar sehingga sangat sulit untuk didekatkan kembali dalam kurun waktu dekat tanpa harus ada kesadaran baru untuk memulai mengaktualisasikan kebesaraan rumah-rumah adat yang pernah ada terhadap kemungkinan kepunahan, dan disadari pula fenomena ini telah berimflikasi terhadap indikasi yang mengarah pada pelunturan sisi kehidupan prilaku budaya masyarakat kalau belum mau dikatakan menuju kehilangan akar pijakan budaya sendiri.

Tentunya sulit untuk mencari siapa yang harus disalahkan dalam perubahan ini, tetapi kalau arif dapat kita telusuri ada beberapa indikasi yang mempengaruhi pelemahan kultur budaya masyarakat loloan untuk dapat dijadikan bahan kajian;

1. Ada yang menengarai awal dari pelunturan adat dan tradisi ini dimulai dari ketika pertama kalinya lekukan-lekukan sungai ijogading diluruskan, artinya keganasan sungai ijogading pada setiap musim penghujan selalu menbawa bencana banjir disepanjang bantaran sungai dari hulu sampai ke hilir tidak pernah terjadi lagi khususnya kawasan loloan. Kondisi aman dari ancaman banjir musiman dan binatang buas mendorong sebagian masyarakat penghuni rumah panggung yang didesain berupa bangunan kayu utuh itu satu persatu mulai meninggalkan ciri khas arsitekturnya.

2. Loloan yang berarti lekukan sungai terdapat sebuah dermaga dinamai teluk bunter riwayatnya berakhir ketika terjadi pelurusan sungai ijogading. Dahulu ramai dilabuhi perahu penisi pelaut bugis diakui sebagai jembatan penghubung serumpun yang hangat antar lintas nusantara. Jalinan yang telah membentuk kultur budaya itu ,kini sulit untuk direkatkan kembali karena tidak adanya upaya kearah itu oleh generasi saat ini yang tersisa sekalipun agak sulit untuk dilakukan.

3. Keberhasilan pemenuhaan kebutuhan ekonomi masyarakat mendorong perubahan gaya hidup dengan merubah sebagian atau seluruh struktur bangunan rumah panggung tanpa harus menyesali betapa gigih dan tangguhnya datuk moyang dahulu ketika memulai merencanakan mendirikan bangunan, menyusun dan merakit sedangkan bahan-bahannya didapat dari luar pulau nun jauh diseberang sesuatu yang sangat sulit dan tidak mudah untuk dilakukan oleh masyarakat sekarang, seluruhnya dilakukan dengan pertaruhan jiwa dan semangat kegotong royongan.

Lain halnya bagi masyarakat kurang beruntung dalam memenuhi kebutuhan hidup, ada juga yang mengambil jalan pintas yaitu menjual seluruh struktur bangunan kepada kolektor bangunan antic. Sekalipun demikian masih dijumpai situs rumah panggung masih kokoh berdiri tegak oleh pemiliknya tetap dijaga dan dipelihara.

4. Rumah pangung yang telah dibangun ratusan tahun oleh seniman pemberani merupakan inspirasi kekuatan budaya, dimana kini telah kehilangan makna historis hal ini menandai ada sesuatu yang hilang dari sebuah tradisi adat istiadat seperti prosesi adat perkawainan misalnya, berbagai jenis penganan kuliner luput dari pengisi hidangan.

5. Kesulitan mencari bahan kayu sebagai pengganti bagian-bagian rumah yang rusak menjadi alasan untuk membiarkan pelapukan struktur bangunan tanpa ada upaya alternative untuk memperbaiki.

6. Pembagian waris bagi sebagian ahli waris menuntut pertimbangan yang lebih adil terhadap bangunan pusaka berumur ratusan tahun itu apabila ingin tetap berdiri utuh sebagaimana bentuk aslinya.

Kalau kita sepakat bahwa rumah panggung adalah merupakan simbul bangunan sebuah peradaban masyarakat kampung loloan yang tidak dibatasi pada sebuah kawasan, maka kultur masyarakat telah menyebar ke seluruh kabupaten jembrana.

Sebelum generasi yang akan datang kehilangan jejak sejarah sangat arif bila diambil langkah-langkah yang dapat dijadikan acuan untuk menjaga kelestarian situs pusaka rumah panggung ;

Persoalan rumah panggung adalah bagian dari produk masyarakatnya sendiri, perlu dibangunan sebuah kesadaran baru bagi generasi sekarang untuk membentuk kembali kearifan lokal dari erosi transformasi budaya yaitu dengan memahami dan mendalami kultur budaya datuk moyongnya sendiri sebelum terjadinya persimpangan budaya yang lebih jauh lagi yaitu dengan membentuk atau menumbuhkan lembaga peduli terhadap kebudayaan lokal.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam mengambil peran untuk melestarikan situs rumah panggung sangat dibutuhkan, karena kebanyakan dari komunitas pemilik atau penghuni rumah paanggung adalah dari kalangan yang kurang beruntung sehingga kebutuhan biaya untuk memelihara bangunan banyak mengalami kesulitan.

Kajian dalam mengatasi persoalan ini adalah mendekatkan kebutuhan mereka dengan kemampuan pemerintah kabupaten diantaranya adalah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dengan demikian diharapkan kesulitan biaya yang selama ini menjadi ganjalan bagi para pemilik rumah panggung dapat difasiltasi oleh Pemerintah.

Perlu ditumbuhkan serta didorong kesadaran masyarakat akan arti nilai sebuah kebudayaan yang tersimbul dalam bentuk bangunan rumah panggung beserta unsurt-unsur yang pernah ada untuk dipelihara kelestariaannya tanpa harus membiarkan dalam kepunahan. Adalah sangat disayangkan apabila generasi yang akan datang hanya pernah mendengar tetapi tidak pernah tahu apa dan bagaimana simbul kebudayaan datuk moyangnya dahulu.

Penulis bertempat tinggal di Loloan Timur, Negara-Jembrana, Bali
Selengkapnya...

Trophy Adipura dan Sarang Penyakit

“Hati-hati, Pak. Sebaiknya sekarang jangan sering keluar rumah karena sedang ada wabah flu, batuk dan sakit mata. Terutama anak-anak, lebih baik tidak usah diajak keluar rumah dulu. Lingkungan kita sedang polusi virus,” ujar seorang apoteker di sebuah apotik di kota Negara kepada seorang bapak yang membeli obat flu buat anaknya.

Dari Denpasar,beberapa sumber yang dihubungi media ini melalui telepon, juga mengatakan hal senada. “Di sini hampir semua orang sedang kena flu. Belum lagi ancaman demam berdarah yang terus mengintai. Pokoknya saat ini sangat tidak nyaman. Cuaca tidak baik,” demikian beberapa sumber.

Dari Banjar Kelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, seorang warga juga mengabarkan bahwa sejak pertengahan Juni hingga awal Juli ini, wabah flu dan demam menyerang sebagian besar warga masyarakat setempat. “Sekarang warga satu desa ini semua demam dan flu. Anehnya setelah demam beberapa hari, muncul bintik-bintik merah di kulit, seperti medewa (cacar-red). Pokoknya tidak ada yang sehat di sini. Saya sendiri sudah empat hari ini demam,” demikian Ketut Sriani dari Banjar Kelating Dukuh via telepon.

Di kawasan Jembrana, tersebar informasi bahwa banyak warga yang terserang chikungunya. Bahkan oleh pemkab setempat, ada kawasan yang sudah dikategorikan dalam kondisi luar biasa (KLB) chikungunya. Penyakit sejenis demam yang disebabkan alphavirus yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti ini muncul pula secara sporadis di beberapa desa di luar kawasan yang dikategorikan KLB. Saking paniknya, beberapa kelian dinas bahkan buru-buru mengontak Dinas Kesehatan Pembak Jembrana meminta diadakan fogging di wilayahnya.

Belum tuntas persoalan chikungunya, wabah flu dan sakit mata datang menyusul di sejumlah kawasan di kota Negara. Dalam setiap percakapan antarwarga, tidak satu pun yang tidak mengeluhkan flu yang menyerang diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka. “Anak-anak saya semua sedang sakit flu. Padahal sekarang hari-hari awal sekolah mereka setelah libur kemarin. Sudah ke dokter dengan JKJ, tapi tak mempan,” keluh seorang warga dari Lingkungan Ketugtug, Kelurahan Loloan Timur.

Di Kawasan Tegalasih, Menega dan sekitarnya, warga mengeluh karena adanya wabah sakit mata. “Seluruh keluarga saya kena sakit mata. Tetangga juga. Semua kegiatan jadi terganggu,” demikian Yuli, seorang warga Dusun Menega. “Bukan hanya di sana, di Kelurahan Pendem juga banyak yang sakit mata,” sambung Ketut Sudiarti dari Lingkungan Satria, Kelurahan Pendem, Negara.

Kenyataan yang Paradoks
Yang menjadi ironis atas kondisi dan situasi kesehatan warga masyarakat saat ini adalah, bahwa seluruh kabupaten di Provinsi Bali baru saja dihadiahi Trophy Adipura oleh pemerintah pusat. Masing-masing pemerintah kabupaten di Bali dengan bangga mengumumkan di koran-koran lokal tentang penghargaan kebersihan lingkungan yang mereka terima ini. “Semua bupati bangga mendapat penghargaan Adipura. Sayang sekali, semua kebanggan itu semu. Karena kalau kita lihat dengan jujur, kondisi kebersihan lingkungan di seluruh Bali saat ini gak ada yang bersih. Justru semakin kotor!” Demikian banyak pendapat yang terlontar.

Warga masyarakat mengatakan, adanya “hujan Trophy Adipura” yang jatuh di kabupaten-kabupaten di Bali tahun ini, tidak lebih dari sekedar proyek melanggengkan tradisi yang sudah terlanjur ada dalam birokrasi. “Trophy Adipura itu kan hanya tradisi. Bahkan bisa dibeli kok. Mana ada kemajuan dalam masalah kebersihan lingkungan di Bali? Yang ada justru lingkungan yang semakin rusak, semakin kotor dan semakin kumuh dengan berbagai sarang penyakit. Trophy Adipura dan fakta di lapangan adalah sebuah paradoksal di Bali,” kata warga.

Ungkapan kekecewaan warga masyarakat tersebut tentu tidak bisa dianggap enteng. Sebab jika semua pihak mau jujur, kenyataan atas kondisi lingkungan yang ada di era reformasi ini justru menunjukkan kemunduran yang sangat nyata. Di era reformasi ini, sudah lama sekali pemerintah daerah melupakan pemeliharaan lingkungan terutama dari sisi kebersihan. “Isu lingkungan yang mengemuka didominasi oleh isu-isu kerusakan hutan atau pembalakan liar. Masalah kebersihan lingkungan kota dan pemukiman warga menjadi terabaikan,” keluh mayoritas warga kota di Negara.

Pemandangan atas kondisi lingkungan di perkotaan dan di kawasan pemukiman saat ini, memang jauh lebih buruk daripada saat orde baru, di mana tradisi Trophy Adipura dimulai. Saat itu, daerah atau kota yang mendapatkan Adipura adalah daerah yang lingkungannya benar-benar bersih dan sehat. Setidaknya bersih dan rapi secara fisik. Namun sekarang, jangankan tampak bersih dan rapi di permukaan, kota-kota justru semakin kumuh dengan berbagai proyek pembangunan yang tumpang tindih. Lajur-lajur jalan raya yang ada yang sekaligus menjadi satu-kesatuan dengan jalur drainase saluran pembuangan air di kawasan kota, setiap saat mengalami bongkar-pasang karena perubahan dan penambahan bangunan suatu proyek. Hal inilah yang menjadi biang kerok atas tidak berfungsinya saluran-saluran pembuangan limbah yang ada di kota.

Tidak Kompak
Macetnya limbah di kawasan perkotaan dan pemukiman, adalah sumber pencemaran paling parah terhadap lingkungan pemukiman. “Kita sama-sama tahu, tidak ada saluran air dan limbah yang berfungsi dengan baik di seluruh kawasan perkotaan di Bali. Segala limbah mengendap di bawah trotoar jalan. Di sanalah bersarang berbagai bakteri dan virus bibit penyakit,” kata warga. Kondisi ini pulalah yang membuat begitu mudahnya berbagai penyakit mewabah saat ini.

Dalam hal ini, warga masyarakat memang tidak mau dipersalahkan. Mereka merasa sudah cukup berusaha memelihara lingkungan tempat tinggalnya. Persoalannya adalah tidak kompaknya kegiatan pemeliharaan lingkungan tersebut dilakukan. “Saya bisa tiap hari membersihan got di depan rumah saya, tetapi air dan limbah tetap tidak mengalir karena lajur got di sebelah mampet. Bukan karena tetangga malas, tetapi karena di ujung sana ada trotoar jebol yang belum diperbaiki oleh pemerintah,” ujar warga di Banjar Tengah, Negara.

Di samping itu, kegiatan pengerjaan berbagai proyek pembangunan fisik yang dilakukan setiap saat oleh berbagai instansi, punya andil besar dalam masalah kebersihan dan kelestarian lingkungan pemukiman. Dinas PU, PLN, Telkom dan PDAM, adalah instansi yang selalu mengganggu drainase atau got-got saluran limbah di perkotaan. PLN, Telkom dan PDAM sepanjang tahun selalu saja melakukan penggalian di ruas-ruas jalan, entah untuk perbaikan atau pun pemasangan jaringan baru. Penggalian yang mereka lakukan punya kemungkinan besar untuk merusak saluran air yang ada di pinggir jalan raya. Parahnya, ketika proyek mereka itu selesai, mereka tidak mampu mengembalikan saluran air yang terganggu seperti semula. Bahkan sisa-sisa meterial dari pengerjaan proyek tersebut seringkali dibiarkan menyumbat saluran air limbah di bawah trotoar.

Sementara itu Dinas PU juga selalu tidak tuntas saat melakukan perbaikan trotoar yang jebol atau pun ketika melakukan ronovasi total terhadap jalur-jalur trotoar. Trotoar hanya diperbaiki bagian permukaannya saja, sedangkan saluran air atau got di bawahnya tidak ikut dibersihkan sekaligus. Maka menjadi sia-sialah adanya trotoar yang tampak mentereng, sementara di bawahnya terdapat limbah yang tersumbat dan menjadi sarang berbagai sumber penyakit. Dengan kata lain, berbagai kegiatan pembangunan yang bersinggungan dengan saluran limbah di perkotaan tidak pernah dilakukan secara kompak dan terintegrasi satu dengan yang lainnya.

Demikian pula lingkungan pemukiman yang ada di desa-desa. Saat ini, di mana kegiatan gotong-royong semakin memudar karena tuntutan hidup masyarakat yang semakin berat, lingkungan hidup di pedesaan pun semakin terabaikan. Secara kasat mata dapat dilihat bagaimana semakin semrawutnya wajah desa atau dusun-dusun. Seluruh ruas jalan di pedesaan saat ini tidak memiliki saluran air yang baik. Pinggiran jalan pedesaan saat ini tidak lagi merupakan kawasan yang harus dipelihara rapi oleh warga masyarakat, tetapi tiap jengkal ditutup oleh tanaman rumput gajah. Dulu, setiap desa taat dengan awig-awig bahwa setiap kepala rumah tangga harus bertanggungjawab terhadap kebersihan telajakan jalan di depan rumah masing-masing. Warga yang mengabaikan kebersihan telajakan bisa kena sangsi adat. Tetapi sekarang, awig-awig telah dikalahkan oleh rumpun rumput gajah yang menutupi got atau saluran air di sepanjang ruas jalan desa.

Penanaman rumput gajah di pinggir jalan pedesaan memang tidak bisa dicegah. Warga masyarakat sekarang perlu makanan untuk ternak sapi atau kerbau mereka. Sementara kebun sudah tidak bisa ditanami rumput lagi karena sudah penuh oleh tanaman coklat, jati, sengon dan yang lainnya.

Serba dilematis memang. Dan sayangnya pemerintah daerah tidak memiliki inovasi serta kecerdasan yang baik untuk menanggulangi persoalan ini. Flu, pilek, demam, batuk, sakit mata, barangkali memang terdengar sepele. Tetapi bila wabah tersebut setiap saat muncul, tentu saja juga sangat mengganggu berbagai aktivitas semua orang. Daya produktivitas masyarakat pun sudah pasti menurun. Anomali cuaca yang selama ini selalu dijadikan kambing hitam atas munculnya berbagai wabah penyakit, bukanlah tuduhan yang bijak. Karena sejatinya pemerintah dan semua orang memang tak becus mengurus lingkungan.

balibicara
Selengkapnya...