berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Siasat Manusia di Tepi Pariwisata

Oleh : I Ngurah Suryawan

Ketut Pugeg (65) berjalan menepi saat mobil BMW biru tepat berada dibelakangnya. Si pengendara mobil membuka kaca pintu. Seorang lelaki bule berkacamata hitam menengok dan memandangi Pugeg dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada senyum dari si bule, begitu juga dengan Pugeg. Hanya sepintas, mata mereka saling pandang, kemudian mobil melaju meninggalkan Pugeg. Badan Pugeg yang mulai ringkih kembali berjalan menyusuri sebuah jalan hot mik di kawasan Kerobokan, Kabupaten Badung. Hanya diselimuti kaos putih polos kusam, menyelipkan sebuah arit di punggungnya, Pugeg berhenti di sebuah lahan penuh rumbut. “Dumun nike tanah tiang pak, mangkin sampun beli bule. Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki” ujarnya sambil menunjuk bangunan villa mewah di sebelah lahan penuh rumput (Dulu itu tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di tanah ini mencari rumpun untuk makan sapi).

Kini, yang tersisa hanyalah tanahnya ini. Itupun sudah dicari-cari makelar dan dibujuk beberapa saudaranya untuk dijual saja. Memang tanah Pugeg berada di tepi Jalan Petitenget, sementara di sisi kanan dan kirinya sudah terbangun villa-villa mewah. Pugeg terjepit. Pernah ia berniat menjual tanah itu, tapi setalah itu tidurnya tidak tenang dan selalu bermimpi buruk. Dalam mimpinya, leluhur Pugeg sangat marah kalau ia sampai menjual tanah warisan ini. Oleh karena itulah hingga saat ini ia bertekad sampai akhir hayatnya tidak akan pernah menjual sisa terakhir tanah warisan leluhurnya ini.

Pugeg dan hampir 30 KK krama (warga) lainnya terdesak ke pinggiran. Tanah-tanah mereka di pinggir jalan atau bahkan di pinggir pantai telah terjual oleh investor ataupun bule. Bale Banjar (balai desa) malah berada dibelakang jejeran dua villa mewah yang dikelilingi tembok tinggi menjulang berduri. Banyak krama desa yang masih memilih mencari rumput untuk memelihara sapi seperti yang dilakoni Pugeg. Sebagian lainnya berdagang di Pantai Petitenget dan Pantai Loloan Yeh Poh atau menjadi buruh-buruh bangunan di proyek-proyek villa dan ruko-ruko di tanah kelahiran mereka.

Wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kini memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah Indonesia untuk berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaan, butik-butik dan restoran berbagai jenis makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan. Maka tidaklah heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan tidak pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka bisa menikmati dentum musik para DJ di diskotik-diskotik di wilayah Kuta.

Siapa yang membayangkan daerah Kerobokan akan seramai seperti sekarang? Seperti juga siapa yang menyangka Kuta akan menjadi “kampung internasional”. Saat tahun 1986, jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan seperti dicatat Setia (1986; Sujaya, 2002) seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap gulita tanpa adanya penerangan. Pantai Kuta, Seminyak, dan Loloan Yeh Poh, tiga pantai di kawasan Kuta-Kerobokan sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut. Kuta kemudian lebih dulu berkembang berkat ide dari Dokter Made Mandara yang membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya seorang bule. Langkahnya kemudian diikuti warga lainnya yang menyulap sebagian rumahnya untuk penginapan murah. Deburan ombak pantai Kuta untuk berselancar menjadi daya tarik tersendiri para para turis anak muda.

Maka, mulailah industri pariwisata menerjang Kuta. Seolah tanpa henti, pembangunan infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih “perawan” dari tangan-tangan investasi. Dan wilayah Kerobokan menjadi sasaran berikutnya pasca 1998, ketika kelompok kelas menengah kaya mencari lahan baru yang aman berinvestasi. Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual. Meski desa pakraman melarang warganya menjual tanah, banyak cara yang dilakukan untuk mensiasatinya. Salah satunya adalah meminjam Kartu Tanda Penduduk (KTP) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali atau “kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha (Kompas, 22 Februari 2008).

Masih ingat cerita di Desa Pakraman Kerobokan, saat investor menyasar daerah-daerah pantai yang sering digunakan oleh warga untuk melakukan ritual keagamaan setelah ritual ngaben dan yang lainnya. Pada April 2007, daerah pinggir Pantai Loloan Yeh Poh dilakukan penyendaran oleh investor PT Bali Unicorn dalam rangka proyek besar membuat resort tepi pantai dengan nama proyek “penataan” Pantai Loloan.

Masyakarat Desa Pakraman Kerobokan tanpa tahu menahu saban hari mendengar deru truk-truk membawa material untuk penyenderan dan pengurukan bibir Pantai Loloan Yeh Poh. Bukan hanya proyek penyenderan saja ternyata, bangunan-bangunan permanen dan gazebo-gazebo berjejer sepanjang pantai. Sementara alat-alat berat untuk penyenderan pantai terus bekerja siang dan malam. Meski ada keluhan dan protes warga, gunjingan di bale banjar, tetap saja proyek tersebut jalan terus. Truk-truk dengan angkuh menderu-deru menurunkan batu-batu untuk menguruk Pantai Loloan Yeh Poh.

Warga Desa Kerobokan pun marah dan melawan. Pada 11 April 2007, krama (warga) adat Desa Pakraman Kerobokan dengan berpakaian adat membunyikan kulkul bulus (bunyi kentungan bertalu-talu tanda bahaya) memanggil seluruh warga keluar rumah. Warga kemudian berkelompok menghadang truk pengangkut material yang dikawal patroli polisi. Warga memblokir jalan menuju Pantai Loloan Yeh Poh. Warga menuntut penghentian pengurukan pantai sekarang juga. Dalam proses investor masuk ke Pantai Loloan Yeh Poh, krama adat Desa Pakraman Kerobokan sama sekali tidak mendengar apalagi dilibatkan dalam rencana proyek ini. Para pejabat birokrasi dan Bupati Badunglah yang menandatangai izin penataan Loloan kepada PT Bali Unicorn (Bali Post, 12 April 2007).

Di wilayah Desa Tegalalang, Kabupaten Gianyar, sekelompok petani subak melakukan protes terhadap pemilik hotel megah di atas hamparan sawah berundak-undak mereka. Kelompok petani subak ini protes karena pihak hotel tidak memberikan mereka bayaran atas pemandangan sawah yang dinikmati gratis oleh para wisatawan. Cara petani subak ini protes tidak dengan merusak fasilitas atau menyegel hotel, namun membentangkan seng di sepanjang sawah saat para wisatawan makan siang dan menikmati pemandangan. Namun sayang, bukan pemandangan hamparan sawah berundak-undak yang didapat para wisatawan, namun suasana tidak menyenangkan karena di tengah terik matahari, sinar terpantul seng menjadi silau. Rakyat bersiasat, melawan yang membuat rakyat menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kekuasaan. Meski tampak manis di depan kekuasaan, rakyat bisa melakukan siasat perlawanan pada kebijakan kekuasaan yang membelenggunya dengan cara-cara keseharian mereka seperti yang ditunjukan petani di Desa Tegalalang (Susanto, 1993).

Mahluk bernama pariwisatalah yang merubah total Bali hingga sekarang. Saat Orde Baru berkuasa, rakyat Bali dibungkam dengan jargon manis “pariwisata budaya”. Namun dibalik itu, yang senyatanya terjadi adalah “pariwisata resot” (Picard, 2006; Vickers, 1989) yang mengeruk tanah-tanah Bali untuk dibangun infrastruktur pariwisata megah. Karena pembangunan (pariwisata) jugalah, apa yang oleh Laksono (2000) disebutkan tumbuhnya komunalisme, kesadaran berkomunitas di kalangan masyakarat menjadi diragukan. Suara masyakarat telah dikooptasi dan diseragamkan oleh negara, sehingga siasat berkomunitas untuk mengontrol hasrat kekuasaan telah dikuasai dan dikendalikan oleh negara (baca: Orde Baru).

Dalam carut marut industri dan ketegangan pariwisata, rakyat mempunyai siasatnya sendiri. De Certeau (1984) menunjukkan bagaimana praktik kehidupan sehari-hari dilakukan oleh rakyat kebanyakan dalam tempat dan ruang tertentu. Dalam ruang yang terhimpun praktik-praktik kegiatan manusia tersebut, terdapat budaya-budaya yang sangat biasa, yaitu praktik hidup keseharian manusia. Wujud dari praktik keseharian itu diterjemahkan melalui budi bahasa yang juga sangat biasa, jauh dari kesan elite dan “berwibawa”. Berpijak pada teoretisi Bourdieu tentang habitus dan Foucault tentang struktur kekuasaan, de Certeau menunjukkan bahwa dalam sebuah kebiasaan hidup masyarakat (habitus), praktik-praktik manusia sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan (aparatus pejabat pemerintah, ideologi, prosedur birokrasi, teknik) dan habitus itu sendiri tentunya.

Dilema hidup Pugeg dan masyarakat Bali pada umumnya tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap pariwisata. Habitus terhadap Bali adalah budaya dan pariwisata. Tanah-tanah di Desa Kerobokan perlahan ludes terjual karena struktur kekuasaan pariwisata dan pembangunan yang membentuk Bali. Oleh karena itulah, gerakan-gerakan resistensi sering lahir akibat respon terhadap struktur kekuasaan dan upaya pembongkaran habitus masyarakat sendiri. Seperti potret dari krama Desa Kerobokan dan petani subak Desa Tegalalang.

Praktik, taktik manusia inilah yang sering disebut dengan siasat. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara, taktik untuk menghadapinya. Berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan. Dalam siasat inilah, praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan kebudayaan yang sering dilupakan. Refleksi Laksono (2007) dalam studinya tentang pengalaman keseharian korban gempa Yogya 2006 menunjukkan, siasat rakyat (korban gempa) tidak hanya termediasikan di media massa yang menipu, namun jauh lebih dalam pada pengamatan keseharian mereka hidup dan merefleksikan diri mereka.

Melihat siasat manusia Bali yang menjerit karena tanahnya tergadaikan, resistensi terhadap pariwisata dan pembangunan akan terus terjadi. Massifnya industri pariwisata dan pembangunan di Bali akan mengundang jeritan-jeritan resistensi rakyat Bali yang dipraktikkan dalam keseharian hidup mereka dengan berbagai cara. Dalam praktik sehari-hari kebiasaan dan resistensi rakyat Bali terhadap pariwisata dan pembangunan itulah politik kebudayaan Bali dibangun.

I Ngurah Suryawan
Mahasiswa Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar