berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Tradisi yang Bersahabat dengan Bencana Alam

Oleh: Ibed Surgana Yuga

April 1815 Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus demikian dahsyat, menelan tiga kerajaan di sekelilingnya. Dengan kedahsyatan ledakan empat kali Gunung Krakatau, Tambora memuntahkan awan tebal dari perutnya dan membumbung hingga stratosfer bumi, lalu bahkan langit Eropa pun tertutup olehnya, lalu sinar matahari tak kuasa menembusnya, lalu berbagai keragaman hayati rusak dan musnah, lalu gagal panen, lalu kelaparan di Irlandia, Jerman, dan kota-kota lain di Eropa, lalu tifus.

Usaha penggalian terhadap sisa-sisa ledakan Tambora dilakukan para ahli untuk menemukan dan mempelajari peradaban macam apa yang telah ditelan muntahan gunung api ini. Diharapkan Situs Tambora hasil galian ini akan bisa dijadikan objek wisata dunia, sebagaimana Situs Pompeii di Napoli, Italia, yang sebelumnya merupakan sebuah kota tua zaman Romawi kuno yang terkubur letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79.

Sementara ditemukan bahwa ledakan Tambora telah menyebabkan hilangnya peradaban Sumbawa ketika itu, yang diperkirakan berbeda dengan peradaban Sumbawa sekarang. Manusia Sumbawa sekarang bukanlah keturunan manusia Sumbawa sebelum Tambora meletus. Ketika itu, menurut tim ilmuwan University of North Carolina, peradaban Sumbawa lebih mirip dengan Indocina.

Demikianlah, bencana alam telah melenyapkan kompleksitas peradaban manusia dalam suatu wilayah geografis dan budaya. Di masa sekarang kita harus mempelajari mereka dengan begitu susah payah, melalui penggalian sisa-sisa peradaban, berupa artefak atau kerangka manusia. Tentu berbeda dengan jika kita mempelajari peradaban masa lalu dengan manusia-manusia keturunannya yang masih ada.

Ketika kesadaran tentang hal itu ada, manusia kemudian mengantisipasi berbagai kemungkinan bencana alam dengan berbagai macam teknologi, baik modern maupun pra-modern. Bunker dibangun untuk menyelamatkan manusia dari kepungan lahar letusan gunung, ada seismograf untuk merekam aktivitas gunung berapi, ada pendeteksi gempa, bahkan pedeteksi tsunami. Setelah bencana gempa di Aceh dan Jogja, mulai tumbuh kesadaran, atau paling tidak pengetahuan, tentang bangunan tahan gempa.

Tahun 1815 di Indonesia dan tahun 79 di Italia agaknya belum ada teknologi yang bisa membaca tanda-tanda akan letusan gunung berapi. Bolehlah kita sekarang bersyukur karena telah memiliki teknologi macam itu, yang karenanya berbagai tindakan pencegahan akibat bencana letusan gunung dapat dieksekusi. Karenanya, kita punya kesempatan untuk mengungsi, menyelamatkan beberapa harta benda yang mungkin, menjauhkan nyawa kita dari ancaman bencana yang mematikan. Karenanya, kita masih punya kemungkinan untuk menyelamatkan (beberapa bagian, kalau tidak bisa keseluruhan) peradaban kita.

Bencana alam adalah keniscayaan, terlepas dari apa pun penyebabnya. Tak jarang, sekeras apa pun usaha kita untuk menghindarinya, ia tetap saja datang menerjang. Tak peduli kita tengah gencar menghujat perilaku manusia perusak alam atau bahkan ketika khusyuk berdoa. Maka, di samping berbagai usaha pencegahan terjadinya bencana alam, kita semestinya memiliki kesadaran tentang keniscayaan bencana alam. Berbagai usaha pencegahan atas terjadinya maupun pencegahan akan akibat bencana alam didasari dengan kesadaran yang demikian.

Pada suatu titik kesadaran, kita akan sampai pada penarikan bencana alam ke dalam ranah tradisi kehidupan atau peradaban kita. Kita menyiapkan, merancang, dan mengeksekusi berbagai agenda sadar bencana alam yang kemudian ditradisikan. Kita mentradisikannya sebagaimana kita membuat atap rumah karena sadar akan keniscayaan turunnya hujan, atau sebagaimana tradisi mandi yang muncul dari kesadaran akan kotoran yang niscaya melekati tubuh kita.

Banjir yang terjadi hampir di sebagian wilayah Indonesia, merendam hampir seluruh Jawa, akhir-akhir ini mestinya bisa disikapi dengan kesadaran yang demikian sejak lama. Apalagi banjir ini telah menjadi agenda tahunan alam di Indonesia. Bali pun tak luput dari rendaman banjir. Beberapa daerah pariwisata dikepung. Konon turis-turis dibuat mangkel olehnya.

Ternyata, tata kota, terutama tata keairan, tidak punya visi dalam mengantisipasi kedatangan bencana alam semacam banjir. Para perancang tidak punya kesadaran akan bencana alam yang sangat mungkin dimasukkan ke dalam tradisi merancang berbagai tata bangunan. Barangkali semuanya dirancang dan dibangun untuk menghadapi situasi normal. Padahal kalau mau berpikir lebih mendalam, banjir pun sebenarnya adalah keadaan normal. Belum ada indikasi sebuah visi pembangunan untuk mengantisipasi kenormalan yang kadang-kadang terjadi, seperti banjir.

Kesadaran memang telah ada tentang kerusakan hutan (yang malah terus dirusak) sehingga memunculkan gerakan penanaman kembali. Namun ini perlu waktu yang lama. Menunggu bibit-bibit yang ditanam sehingga tumbuh menjadi pohon besar itu lebih lama dibandingkan membangun tata beton-beton yang punya visi menanggulangi kedatangan banjir. Dengan kata lain, realisasi pembangunan yang mempunyai kesadaran akan banjir sangat mendesak.

Sepertinya, banyak dari kita yang tidak banyak belajar dari peradaban masa lalu yang kelihatannya remeh. Sering kali peradaban masa lalu hanya dikagumi kemegahannya, keunikannya, kemudian dideskripsikan sedemikian rupa untuk kalangan umum, termasuk kalangan luar negeri, sehingga dapat mendatangkan masukan melalui dunia pariwisata, atau ujung-ujungnya masuk museum dan membeku di sana.

Rumah panggung orang Loloan yang dibangun di sepanjang daerah aliran Tukad Ijogading, misalnya. Arsitekturnya dibangun dengan meninggikan lantai sedemikian rupa dengan sokongan tiang-tiang kayu nan kokoh, sehingga menyerupai panggung. Kita bisa menerka fungsi arsitektur macam ini di antaranya untuk menghindari serangan binatang buas ke dalam rumah atau untuk mengantisipasi luapan air Tukad Ijogading di saat musim hujan. Inilah contoh “kecil” yang cerdas dalam mentradisikan berbagai ide tentang antisipasi bencana alam.

Mentradisikan dan merealisasi ide tentang antisipasi bencana alam pada satu titik akan sampai memberi pemahaman bahwa banjir, misalnya, pada suatu ketika tidak dianggap sebagai bencana. Ia mewujud sebagai sahabat yang mesti disapa dengan tradisi, kebudayaan, peradaban.

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar