berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

8 Juli 2010

Bertani Tidak Membuat Bangga, Katanya!

Ada seribu alasan kenapa generasi muda di Bali sekarang memilih meninggalkan kehidupan bertani di desa. Dan satu-satunya alasan yang tidak bisa dibantah adalah, bahwa bertani tidak bisa menjamin kehidupan hari esok menjadi lebih baik. Bahwa profesi petani tidak mampu membuat generasi muda merasa bangga.

Ini sangat masuk akal! Lihat saja para petani tradisional di desa-desa. Siklus kehidupan mereka sejak dulu hingga hari ini tak ubahnya sebuah gasing yang dipaksa menjadi bandul jaman. Berputar dan tergantung di tempat semula dan tak bisa beranjak. Acapkali berbenturan dengan berbagai masalah, lalu terkapar dalam kondisi yang sama di tempat yang sama pula. Sementara sistem yang ada dan tangan-tangan kebijakan yang memainkan gasing sekaligus bandul itu, bisanya hanya bersorak menebar slogan, tanpa pernah mampu menolong dengan sungguh-sungguh dan tuntas.

Jika ada argumen yang mengatakan bahwa para anak muda enggan menjadi petani semata-mata karena mereka tidak mau berbelepotan lumpur atau gengsi, ini salah besar. Sebab ketika mereka pergi mencari kerja ke kota, toh pekerjaan yang menunggu dan mereka dapatkan tidak jauh-jauh dari debu, cipratan air serta keringat. Bedanya, pekerjaan di kota bisa memberikan mereka penghasilan tunai saban bulan, sedangkan bertani harus menunggu panen dengan berbagai resiko kegagalan yang hingga saat ini tak bisa diprediksi.

Menjadi petani sejatinya juga harus dipahami sebagai sebuah profesi yang kompleks. Bahwa petani adalah juga sekaligus pengusaha. Mencari dan memenej modal sendiri, mengolah lahan, merawat tanamanan, memanen lalu menjual sendiri pula. Bagi kalangan anak muda yang sekarang sudah dibiasakan dengan pola hidup serba instan, ini jelas ribet. Belum lagi seperti yang sudah disinggung tadi dengan adanya resiko kegagalan panen atau gagal untung karena harga jual yang tiba-tiba anjlok di bawah modal. Maka lengkaplah sudah alasan para anak muda untuk menghindar menjadi petani.

Pada kondisi dunia pertanian Bali yang di ambang umbruk saat ini, memang kita juga tidaklah bisa menutup mata atas apa yang telah dilakukan pemerintah. Baik pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten, program serta langkah-langkah dalam upaya penyelamatan pertanian dan para petani memang sudah dilakukan. Mulai dari berbagai bentuk subsidi di seputar pengadaan pupuk, bantuan permodalan, bantuan bibit hingga upaya-upaya proteksi harga panen sudah dilakukan, bahkan subsidi pajak.

Namun demikian, beberapa pertanyaan mendasar seputar keberadaan dunia pertanian di Bali ini harus pula dijawab. Bahwa, apa gunanya segala proteksi yang dilakukan pemerintah tersebut bila pertanian di Bali akhirnya kehilangan para petaninya sendiri? Bagaimana mungkin harapan untuk meningkatkan hasil pertanian agar para petani lebih sejahtera bisa terwujud bila mereka yang bertani hanyalah orang-orang tua dengan tenaga sudah pas-pasan?

Di sinilah pemerintah seharusnya juga gigih melakukan upaya-upaya proteksi. Karena sejatinya pemerintah sudah mahfum, pada dekade terakhir ini dunia pertanian di seantero pedesaan telah kehilangan SDM handalnya, yakni para anak muda itu sendiri. Kegagalan berbagai bentuk bantuan yang diberikan pemerintah kepada para petani, penyebab utamanya justru dari sisi SDM tersebut. Bahwa pertanian dan bertani, tentulah juga usaha dan profesi yang terus-menerus memerlukan inovasi. Tanpa inovasi, pertanian dan bertani tak akan mampu mengatasi berbagai kendala. Dan bicara inovasi, harapan yang ada tentulah tumpuannya lebih besar berada pada sosok-sosok SDM muda. Tetapi sekali lagi, kenapa pemerintah membiarkan para anak muda berbondong-bondong meninggalkan sawah dan ladang mereka?

0 komentar:

Posting Komentar