berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

I Gusti Ketut Linggih, Kegigihan Seorang Penyandang Cacat

Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat, walaupun itu hanya makanan berupa nasi berteman garam. Mungkin hal ini yang selalu dirasakan Ketut Linggih. Lelaki 50 tahun ini senantiasa bersyukur di balik kekurangan fisiknya selama ini. Saat kecil, penyakit cacar hebat menyerangnya sehingga menyebabkan kelumpuhan total pada kedua kakinya. Namun Linggih, tidak pernah patah semangat untuk tetap mengarungi kerasnya hidup selama lima puluh tahun terakhir.

Kondisi Linggih yang berdomisili di Dusun Pangkung Manggis, Kelurahan Baler Bale Agung, Jembrana ini, memang telah menarik simpati masyarakat sekitar untuk membantunya, walaupun itu hanya sekedar memberikan motivasi hidup. Para tetangganya menuturkan, bahwa dalam kekurangannya Linggih tidak pernah minder ataupun patah semangat. “Kelemahan yang ada pada dirinya, justru menjadi berbalik menjadi kekuatan bagi Linggih untuk menyamai orang normal,” demikian seorang tetangga Linggih.

Untuk mengisi keseharian dan menopang hidupnya, Linggih bekerja sebagai pencari pasir dan krikil di sepanjang sungai Pangkung Manggis yang membelah desa Berambang dan Baler Bale Agung, Negara. “Kebetulan rumah saya berdekatan dengan hulu sungai yang kaya dengan pasir dan batu alam. Dengan anugerah itu saya merasakan bahwa Tuhan tetap baik dan adil kepada siapa saja. Buktinya, dengan bekerja mencari pasir dan krikil itu saya bisa hidup,” ujar Linggih polos.

Kehadiran Linggih, tentulah dapat dikatakan sebagai inspirasi bagi siapa saja yang menemuinya. Lelaki ini adalah potret kesejatian perjuangan gigih anak manusia. Hidup dalam keadaan ekonomi serba kekurangan, phisik yang tidak sempurna, otomatis membuat Linggih tak berdaya untuk berbuat lebih banyak bagi hidupnya selain pekerjaan yang selama ini ditekuninya. Dan usia yang semakin uzur, pastilah pula mulai menggerogotinya.

“Beberapa tahun ini saya sudah tidak sekuat dulu. Saya sudah mulai sering sakit. Sehabis mencari pasir dan krikil, pundak dan tangan terasa ngilu semua sehingga saya tidak bisa berjalan. Sejak kaki saya lumpuh, saya berjalan menggunakan tangan saya,” demikian Linggih.

Di saat usia semakin uzur ini, Linggih kembali merasa bersyukur atas karunia Yang Maha Kuasa. Kini dia telah mendapat santunan dari pemerintah lewat Program Bantuan PJSLU (Penyandang Cacat Lanjut Usia). Setiap bulan Linggih menerima uang santunan sebesar Rp. 300 ribu dari bantuan Departemen Sosial. Di samping itu, lelaki yang kini ditemani oleh keponakan satu-satunya ini merasa sangat berterima kasih atas bantuan kesehatan yang diberikan Pemkab Jembrana melalui Jaminan Kesehatan Jembrana atau JKJ. ”Saya sangat berterima kasih dengan adanya JKJ, sehingga saya yang tidak punya apa-apa ini masih mampu berobat ke dokter,” pungkasnya.

Teks & Foto : Dea Yogantara

1 komentar:

dea mengatakan...

Karena kebahgiaan itu tak pernah dapat dikejar, seharusnyalah saya ikut melihat bahwa dibalik kegigihan nyatanya dapat mengejar arti kebahagiaan itu......

Salut!

Posting Komentar