berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Kemiskinan Belum Berkurang!

Sekali lagi, jika memang angka kemiskinan sudah berhasil dikurangi, kenapa yang masih miskin adalah warga yang itu-itu juga? Terus yang sudah tidak miskin lagi itu, siapa?

Pertanyaan tersebut terlontar dari para warga miskin di pelosok-pelosok, di lorong-lorong dan pinggiran kota, di pintu-pintu rumah berdebu warga perumnas dan rumah susun, di bantaran kali dan bibir pantai, di pinggiran hutan, bahkan hingga di kolong dan sela-sela kangkangan gedung-gedung megah perkotaan.

Mereka adalah para petani tradisional, para pengemis, gembel, pedagang kaki lima yang saban hari tergusur, pengangguran dan pekerja serabutan, buruh-buruh pabrik, kuli bangunan, buruh-buruh penggali got, para kernet angkutan umum, para pembantu rumah tangga, para petugas cleaning service di kantor-kantor dan gedung mewah. Bahkan pula, bukan hanya warga miskin yang mempertanyakan keberadaan dirinya seperti itu, banyak juga warga kaya yang penasaran. “Rasanya kemiskinan di negeri ini memang tak pernah berkurang kok,” demikian mereka.

Sejauh ini, untuk mengukur tingkat keberhasilan pengentasan kemiskinan, pemerintah tentu saja memang tidak sembarangan. Pemerintah konon punya indikator tertentu yang mengacu pada garis besar target jangka pendek pembangunan yang sedang digencarkan. Taruhlah misalnya target itu adalah program semenisasi rumah penduduk pada saat pemerintahan orde baru. Jadi begitu pemerintah selesai memberikan bantuan semen kepada warga yang rumahnya belum disemen atau diplester, pada saat itu juga pemerintah mengatakan bahwa kemiskinan sudah terentaskan. “Yang macam begini sudah menjadi kelatahan dalam negeri kita. Dapat dikatakan, dalam banyak sisi, pemerintah sering terlalu menyederhanakan dan menyepelekan masalah,” demikian seorang kepala desa mengakui secara terus terang.

Tidak berbeda pula di era reformasi dan otonomi daerah saat ini, berbagai program pembangunan yang kini sudah diserahkan kepada kebijakan pemerintah daerah, toh tak banyak membawa perubahan di seputar masalah kemiskinan ini. Jika mau jujur, sejatinya belum ada pemerintah daerah yang berhasil mengentaskan kemiskinan rakyatnya bahkan secara substansi.

Tidak Efektif
Di Bali saja misalnya, di tengah-tengah berbagai jargon, jurus dan inovasi pengentasan kemiskinan yang dikumandangkan para kepala daerah dari bupati hingga gubernur, kemiskinan dan keberadaan masyarakat miskin tetap dapat dilihat secara kasat mata dan tidak pernah berkurang. “Tetangga saya banyak yang miskin. Dari jaman Pak Harto hingga hari ini mereka tetap miskin, bahkan makin miskin dan makin sulit kehidupannya. Lalu siapa sebenarnya yang sudah tidak miskin lagi? Semua terasa seperti pepesan kosong!” ujar Komang Gede, warga penghuni kawasan bantaran Tukad Badung, Denpasar.

Komang, demikian pria petani ini biasa disapa, memberikan contoh dengan menunjuk keberadaan para petani tradisional yang ada penjuru Bali. “Coba saja data dan datangi setiap banjar yang ada. Warga-warga miskin yang ada di setiap banjar itu adalah para petani yang memang miskin dari dulu. Tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan, jumlahnya justru bertambah banyak seiring kondisi perekonomian yang kini semakin tak menentu. Itulah yang mendorong warga desa kemudian mengirim anak-anak mereka ke kota mencari pekerjaan apa saja. Di desa mereka tak mampu berbuat apa-apa. Jika pemerintah mengatakan masyarakat miskin sekarang sudah berkurang, saya ingin bertanya pernahkah mereka turun langsung ke desa-desa untuk melihat dan menghitung jumlahnya?”

Keberadaan kemiskinan dan warga miskin itu berpacu dengan waktu. Segala perjuangan dan upaya mereka hari ini ternyata tidak mampu mengimbangi kenyataan keesokan harinya. Ini yang tak tertangani dengan baik oleh pemerintah. Demikian Made Murjana, seorang mantan kepala dusun di Tabanan.

Menurut Murjana, pangkal permasalahan atas sulitnya mengentaskan kemiskinan di Indonesia adalah karena pemerintah tidak pernah mampu menyetabilkan perekonomian nasional. “Satu contoh saja, hari ini seorang warga miskin berusaha membuka warung jajan di depan rumahnya. Tetapi belum ada sebulan dia membuka warung, tiba-tiba harga segala bahan pokon naik. Pedagang kecil ini langsung bangkrut karena tak mampu lagi membeli bahan pokok jualannya,” demikian Murjana.

Beberapa kepala desa dan kelian banjar pun mengakui hal ini. Mereka mengaku sangat kesulitan mencari jalan keluar untuk menolong warga miskin di wilayahnya masing-masing. “Di bawah, jumlah kemiskinan itu sebenarnya tidak berkurang. Kendati pemerintah sudah melakukan berbagai program pengentasan, tetapi itu sebenarnya belum menunjukkan hasil apa-apa. Dengan kata lain, selama ini pemerintah memang sudah melakukan upaya dengan memberikan berbagai bantuan. Tetapi bentuk-bentuk bantuan tersebut tidak bisa memperbaiki keadaan secara langsung dan cepat. Semua usaha dan bentuk bantuan pengentasan kemiskinan dari pemerintah itu perlu proses yang panjang untuk mencapai hasilnya. Tidak efektif,” demikian seorang kepala desa.

Seorang kelian banjar mencontohkan, warga miskin yang mendapat bantuan ternak sapi dari pemerintah, butuh waktu setidaknya tiga tahun untuk bisa mendapatkan hasil berupa seekor anak sapi. “Setelah tiga tahun, sapi bantuan itu baru beranak. Tetapi anak sapi itu pun harus dikembalikan kepada pemerintah untuk digulirkan kepada warga miskin lainnya. Lantas, apa yang berubah selama tiga tahun atas kemiskinan warga tersebut? Tidak ada! Jadi, jika sekarang ini pemerintah gembar-gembor mengatakan sudah berhasil mengurangi kemiskinan, itu bukanlah pernyataan yang dapat dikatakan tepat. Yang lebih tepat adalah, sekarang pemerintah baru “merasa” telah mengurangi kemiskinan,” ujar kelian banjar tersebut.

Bertambah
Dari fakta-fakta di lapangan, berbagai pendapat warga mengenai kemiskinan dan pengentasannya mengerucut pada kesimpulan bahwa kemiskinan saat ini justru bertambah banyak. Hal ini setidaknya tergambarkan dari ungkapan-ungkapan warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan di jalanan.

Anis dan Jro misalnya, supir angkutan kota di Terminal Banyuasri, Buleleng. Kedua lelaki ini mengaku belum melihat perubahan apapun soal kemiskinan dan jumlah orang miskin di daerahnya. “Warga miskin berkurang? Tidak ada itu. Saya justru melihat sekarang ini orang miskin makin banyak. Contohnya di terminal ini saja. Dulu para pedagang di sini lumayan ramai pembeli, tetapi sekarang seiring dengan jarangnya penumpang angkutan umum, warung-warung tersebut pada bangkrut. Itu artinya orang miskin justru bertambah banyak,” cetus Anis.

Sementara itu Jro memberi contoh dengan keberadaan para supir angkutan umum di Bali. “Seluruh angkutan umum di Bali, baik angkutan untuk wilayah kota maupun antar kota, sekarang sulit mendapatkan penumpang. Untuk cari uang makan sehari-hari saja sekarang para supir dan kernet sudah susah setengah mati. Sehari pendapatan mereka paling banyak hanya cukup untuk beli beras sekilo. Sementara kebutuhan yang lainnya makin mahal. Bagaimana mengatakan mereka tidak makin miskin, karena pendapatan untuk membeli pakaian, memperbaiki rumah dan berbagai keperluan lainnya harus ngutang di mana-mana?” Demikian Jro dengan sinis.

Dari kalangan petani, kondisi juga tak jauh berbeda. Ini bisa dengan mudah dibaca dengan mencermati keberadaan rumah-rumah para petani tradisional di pedesaan. Jika ada rumah petani yang tampak bagus, itu adalah hasil mencari hutang atau dengan menjual sebagian tanah warisan mereka. “Membangun rumah dari hasil pertanian? Itu sesuatu yang tidak mungkin bagi kami. Hasil pertanian hanya cukup buat makan. Belum ada upaya pemerintah yang berhasil untuk membuat petani tradisional lebih sejahtera. Lihat saja harga jual hasil-hasil pertanian kita, kan dari dulu tak pernah lebih baik. Sementara itu kenaikan harga barang-barang dan kebutuhan lain selalu di luar kendali pemerintah. Bertani itu hanya untuk mempertahankan hidup, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kalau mau sejahtera, jangan jadi petanilah,” demikian rangkuman ungkapan para petani tradisional di Bali.

Intinya, kemiskinan yang ada sejatinya tidak pernah beranjak dari negeri ini. Hanya hasil berbagai kompromi dari berbagai sudut pandanglah yang melahirkan istilah kemiskinan berkurang atau kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada kenyataannya, kemiskinan memang belum berkurang di negeri ini!

Teks: Nanoq da Kansas
Foto: De’a Yogantara

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar