Secara politis, pariwisata bagi Bali senantiasa diposisikan pada wilayah sangat mulia lantaran kemampuannya menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi. Bahkan diyakini pula, sebagian besar masyarakat Bali sangat tergantung pada dunia pariwisata itu sendiri. Benarkah?
Tetapi ada baiknya kita menghitung kembali peluang dunia pariwisata Bali dengan mencoba melakukan revitalisasi. Atau jika mungkin, perlu dilakukan dekonstruksi terhadap keberadaan Pariwisata Bali itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, ketika kita mencoba menghitung kembali peluang dan keberadaan pariwisata Bali, maka untuk sementara yang didapatkan hanyalah buntung dan rugi.
Jika kita mencoba melakukan kilas balik atas keberadaan pariwisata di Bali, maka kita akan dibenturkan dengan sebuah jargon bahwa ”Pariwisata-lah untuk Bali, bukan Bali untuk Pariwisata”. Pada tataran ideal, ungkapan ”Pariwisata untuk Bali” tentu sulit untuk didebat. Tetapi demikiankah adanya ketika kita melihat perilaku dan perkembangan dunia kepariwisataan di Bali? Masihkah ungkapan itu relevan?
Tetapi ada baiknya kita menghitung kembali peluang dunia pariwisata Bali dengan mencoba melakukan revitalisasi. Atau jika mungkin, perlu dilakukan dekonstruksi terhadap keberadaan Pariwisata Bali itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, ketika kita mencoba menghitung kembali peluang dan keberadaan pariwisata Bali, maka untuk sementara yang didapatkan hanyalah buntung dan rugi.
Jika kita mencoba melakukan kilas balik atas keberadaan pariwisata di Bali, maka kita akan dibenturkan dengan sebuah jargon bahwa ”Pariwisata-lah untuk Bali, bukan Bali untuk Pariwisata”. Pada tataran ideal, ungkapan ”Pariwisata untuk Bali” tentu sulit untuk didebat. Tetapi demikiankah adanya ketika kita melihat perilaku dan perkembangan dunia kepariwisataan di Bali? Masihkah ungkapan itu relevan?
Pada faktanya, keberadaan pariwisata Bali saat ini telah dijungkir-balikkan dari khitah awalnya sebagai pariwisata budaya. Secara sadar, semua itu sudah dimaklumi dengan mengemukanya istilah indutri pariwisata. Padahal secara ideal keberadaan pariwisata di Bali bukanlah terletak pada perilaku industrialisasi yang kemudian menjadi demikian dekat dengan permainan-permainan kapitalistis, tetapi lebih pada pendekatan kebudayaan itu sendiri. Para peletak pondasi dasar pembangunan pariwisata di Bali sendiri sejatinya sudah sepakat, bahwa ”Pariwisata Budaya Bali” adalah merupakan harga mati. Bukan industri pariwisata yang sarat dengan perilaku kapitalis, yang lebih mendewakan uang ketimbang nilai-nilai.
Tetapi toh pariwisata Bali kekinian adalah potret buram dari sebuah bangunan peradaban dan keadaban yang bernama Bali. Apalagi kemudian hingar-bingar dan gemerincing dolar yang disemaikan industri pariwisata di kantong-kantong pariwisata seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua dan Ubud, ternyata hanya dinikmati segelintir orang saja. Dan dari segelintir itu, sebagian besar adalah pemain-pemain kapital besar dari luar Bali, bahkan luar Indonesia. Lalu apakah yang disisakan untuk Bali dan masyarakatnya?
Kemiskinan! Ini adalah salah satu jawaban, yang tentunya di luar kegetiran-kegetiran lain seperti rusaknya alam Bali, perubahan perilaku manusia-manusia Bali, hingga kegetiran lain yang bersentuhan secara tidak langsung terhadap bangunan peradaban dan keadaban Bali sendiri.
Jika dibandingkan dengan kerusakan alam Bali, apakah pajak atau penghasilan nonpajak yang dihasilkan dari industri pariwisata Bali terasa setimpal? Jawabannya jelas tidak! Katakanlah pajak dan pendapatan bukan pajak yang dihasilkan dari industri pariwisata Bali ini berkisar pada angka Rp. 1 trilyun (meskipun kenyataannya jauh dari angka itu). Angka ini terasa terlalu kecil jika dibandingkan dengan kerusakan alam Bali yang disebabkan oleh obsesi dan ambisi industri pariwisata Bali selama ini. Belum lagi, jika kita bandingkan dengan rusaknya bangunan peradaban sosial budaya hingga perubahan perilaku masyarakat yang disebabkan oleh tidak terkendalinya nafsu industri pariwisata.
Kerusakan-kerusakan bangunan sosiokultural di Bali akibat dari perilaku industri pariwisata yang tak terkendali, sungguhlah tidak terjangkau nilainya meskipun dengan jumlah angka-angka dolar yang berlipat-lipat.
Kalau demikian, apakah yang didapatkan Bali dan juga masyarakatnya atas perkembangan industri pariwisata yang demikian pesat? Apakah selama ini industri pariwisata Bali hanya menyisakan kegetiran dan mimpi-mimpi nan semu semata? Untuk mencari jawabnya, marilah kita menghitung kembali apa yang telah terjadi dan dilakukan industri pariwisata di Bali selama ini dengan berbagai dampaknya itu. Mari kita cari jawabannya bersama-sama, dengan kejujuran dan keikhlasan yang masih tersisa sebelum segalanya terlambat dan menjadi sia-sia.
0 komentar:
Posting Komentar