berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Bali, Kemiskinan dan Pemiskinan

Pengingkaran atas kesejatian dan kedaulatan lokal dalam pembangunan Bali untuk memaksakannya menjadi eksklusif, adalah pangkal kemiskinan dan pemiskinan dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat bahkan bangunan peradaban Bali secara umum. Pencekokan ide-ide absurd yang justru memenjara Bali ke dalam eksotisme yang absurd pula selama ini, jelas-jelas mengerdilkan Bali. Bali ibaratnya sudah menjadi bonsai dalam segala aspek. Indah dan memesona memang, tetapi tak berdaya apa-apa.

Salah satu alasan yang enggan kita akui, kenapa tragedi bom di Kuta beberapa tahun yang lalu itu sertamerta membuat Bali bagai lumpuh layuh mendadak adalah, karena Bali miskin! Saat itulah, ketika satu-satunya modal yang masih dimiliki Bali, yakni “keamanan dan kedamaian”, tiba-tiba diporak-porandakan bom teroris, Bali langsung sekarat. Karena memang hanya “keamanan dan kedamaian”-lah satu-satunya harta di jaman modernisasi ini menjadi jualan Bali agar tetap bisa menghidupi warganya kendati itu pun hanya dari mengais-ngais uang receh para turis.

Maka ketika modal satu-satunya itu luluh lantak, mendadaklah kita baru sadar, bahwa kita, bahwa Bali, tak punya apa-apa lagi! Tak ada lagi yang bisa dijual agar turis sudi datang membawa uang receh. Mau berpaling ke usaha lain, tidak mungkin! Karena tanah buat bertani sudah semakin sempit diganti lapangan golf, hotel, vila, supermarket, ruko, tempat kos, dan lain sebagainya. Mau membangun pabrik, tidak mungkin. Mau berbinis juga tidak mungkin karena semua tempat usaha sudah jadi milik kaum kapitalis luar. Mau berjualan kecil-kecilan di pinggir jalan saja sudah sulit, karena jalanan sudah disesaki oleh para penjual kaki lima dari luar pulau yang ketika masa-masa aman dan damai dulu kita terima mereka dengan senyum dan syukur.

Ya, alasan yang serta merta membuat mental Bali down hanya gara-gara bom meledak di sudut kawasan wisata Kuta adalah, karena bom teroris itu membuat Bali ngeh akan kemiskinannya! Karena sulit dibantah, bahwa kemiskinan selalu lebih mudah membuat panik, minder, lalu paranoid. Sementara korban jiwa akibat kebiadaban para teroris dalam tragedi itu, sejatinya cukuplah membuat hati kita luluh trenyuh, lalu sesudahnya (sebagai orang Bali yang selama ini sangat spiritualis) kita berserah sepenuhnya kepada Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Bahwa yang mati sudah pasti berangkat menuju tempatnya yang semestinya. Tetapi kita yang hidup, masih harus berpikir dan berjuang habis-habisan (bahkan bila perlu dengan menghalalkan segala cara), untuk melanjutkan kehidupan dengan sedapat-dapatnya lebih mudah setiap hari.

Tetapi bagaimana mungkin hidup bisa menjadi lebih mudah setiap hari jika dasar untuk itu kita tidak punya? Dan itulah yang terjadi atas keberadaan warga bangsa di Pulau Dewata yang sinar kemilaunya memancar hingga ke manca benua ini. Bahwa, sebagai warga dan anak bangsa, orang Bali yang hidup di Bali, ternyata tak punya kesempatan yang lebih baik dari kaum marginal yang hidup di luar sana di pedalaman lembah dan bukit muram Irian, di hamparan gersang Madura dan NTT, di kejamnya perangai metropolitan Jakarta, Surabaya, Makassar dan kota-kota besar lainnya.

“Saat ini, sekecil apapun kejadian yang mengganggu ‘kebersihan nama baik’ Bali, akan dengan mudah membuat Bali lumpuh seperti pasca tragedi bom di Kuta itu. Karena kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bali telah diambil alih dan dibangun oleh para pemegang kebijakan tanpa pondasi yang tepat dan sebenarnya. Bukan di atas pondasi yang rapuh, tetapi tanpa pondasi yang tepat dan sebenarnya!” Demikian salah seorang anak desa Bali, Wayan Ratmitha, berpendapat. Alasannya, Bali terlalu dipaksakan menjadi elit dengan mengesampingkan segala aspek sosial-budaya-ekonomi lokalnya yang sejati.

“Apa yang dimaksud kesejatian Bali itu tiada lain, adalah Bali yang dengan segala keutuhan dan kedaulatan lokalnya dibiarkan tumbuh, terbangun dan berjalan bersama-sama keyakinan alamiah masyarakatnya sendiri. Tidak macam-macam seperti yang terjadi dekade terakhir ini,” tandas Ratmitha yang merupakan salah seorang aktivis Komunitas Kertas Budaya ini.

Teks: Nanoq da Kansas

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar