berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Juli 2010

Entrepreneurship, Potensi Terpendam yang Harus Dibangkitkan

Oleh : Ir. Yohanis Ano*)

“Entrepreneurship”, diindonesiakan menjadi kewirausahaan. Dari kata wira dan usaha yang menunjuk kepada bekerja/berusaha mandiri. Menciptakan/menangkap suatu peluang usaha dengan syarat harus berani mengambil reziko yang muncul akibat dari peluang usaha yang diambil/diciptakan tentu dengan perhitungan-perhitungan yang matang melalui suatu bentuk analisis yang popular dengan istilah Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) untuk melihat kekuatan, kelemahan, kesempatan/peluang dan ancaman/hambatan yang harus diupayakan jalan keluarnya oleh si wirausahawan.

Entrepreneur sering diartikan secara awam sebagai orang yang berhasil dalam berbisnis dan memiliki banyak cabang usaha. Sebenarnya wirausaha tidak memandang jenis pekerjaan apapun yang akan diambil, tapi melihat harapan masa depan dan kemungkinan-kemungkinannya kata Dr. J.D. Schwartz, lihat kemungkinannya jangan lihat hasilnya. Bila memilih-milih jenis pekerjaan/usaha dan menyebutnya sebagai wirausaha maka kita telah keliru. Memang wajib hukumnya untuk memilih dan menentukan jenis peluang usaha apa saja yang akan digeluti, namun bukan membedakan ini pekerjaan terhormat, ini pekerjaan rendahan dan seterusnya. Karena berwirausaha itu harus merubah sesuatu yang kotor, kumuh, rusak menjadi sesuatu yang bernilai seni tinggi, bernilai ekonomi tinggi, bermanfaat lebih besar bagi orang banyak, bagi lingkungan bahkan bagi bangsa dan negara dan ini berarti anda telah terlibat secara aktif memelihara bumi dan isinya yang adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Makna sebenarnya dari wirausaha seharusnya adalah merubah sampah menjadi emas kata Ir. Ciputra, Entrepreneur ulung Indonesia yang memiliki berbagai cabang perusahaan di berbagai Negara Asia Tenggara serta telah mendirikan banyak lembaga pendidikan termasuk tiga Perguruan Tinggi yang berbasis Entrepreneurship dan pendiri Taman Impian Jaya Ancol ini (Kompas 22 Agustus 2008).

Apabila suatu negara ingin menjadi maju, maka penduduknya harus memiliki jiwa wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduknya. Di Singapura 7,2%, Amerika Serikat 2,14% dan di Indonesia yang menekuni wirausaha menurut data yang ada baru 400.000 orang (0,18%) dari 200 juta jumlah penduduknya. Dengan berwirausaha maka akan tercipta berbagai bidang usaha yang menghasilkan barang dan jasa untuk kebutuhan manusia serta uang untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Dengan banyaknya bidang usaha maka tenaga kerja terdidik akan terserap untuk bekerja, dengan demikian akan mengurangi angka pengangguran terdidik yang menjadi beban bagi pemerintah suatu negara, contoh Indonesia dimana menurut data Pebruari 2008 dari tingkat SMA/SMK, Akademi dan Perguruan Tinggi sebanyak 4.516.100 orang dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka (Kompas 22 Agustus 2008).

Ada banyak sekali contoh wirausahawan tangguh disekitar kita yang mungkin kita pun menganggap mereka sebagai pekerja kotor dimana mereka telah bekerja mengubah sampah menjadi emas untuk meningkatkan taraf hidupnya yaitu para “pemulung”. Para pekerja pengumpul sampah ini bila dipikirkan sekadar, mereka ini adalah pekerja rendahan namun mereka telah menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri sehingga tidak menganggur. Modal mereka hanya berani dan tidak malu. Bila dahulu sampah plastik, kertas dan bahan dari getah atau karet yang terbuang berserakan dan dapat diambil gratis oleh siapa saja karena menjadi masalah lingkungan hidup; maka sekarang malah diberi harga yang cukup mahal per kilogramnya bahkan terjadi perebutan wilayah operasi karena saat ini sudah banyak sekali pengepul yang pada akhirnya menjadi pengusaha sampah yang menjadi kaya raya lantaran pekerjaannya adalah memburu barang-barang bekas yang sudah menjadi sampah itu.

Bila anda memperhatikan pada saat ini dimana-mana sampai di pelosok-pelosok sudah terlihat papan dengan tulisan “PEMULUNG DI LARANG MASUK” Apakah ini berarti wilayah/lokasi tersebut sudah merupakan daerah operasi/kapling pengepul tertentu ataukah mungkin ada alasan lain. Tapi ini berarti wilayah tersebut telah terlindungi dari para wirausahawan sampah. Saat ini para pengepul/pengusaha sampah ini mempekerjakan atau menyerap puluhan bahkan ratusan orang tenaga kerja, sehingga mengurangi pengangguran. Dalam hal inilah entrepreneurship merupakan potensi terpendam yang harus dibangkitkan.

Dengan melihat manfaat entrepreneurship (kewirausahaan) atau kiat berusaha/berbisnis secara mandiri, maka seharusnya pendidikan kewirausahaan ini diajarkan secara dini kepada generasi muda agar sudah mulai tertanam jiwa wirausaha, sehingga ketika menjadi dewasa mereka tidak menunggu memperoleh pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah atau orang lain, namun mereka dapat menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya sendiri bahkan mempekerjakan orang lain. Karena itu paradigma belajar/sekolah saat ini sudah harus berubah dari “Belajar/sekolah untuk mendapat pekerjaan yang baik, menjadi sekolah/belajar untuk membuat atau menciptakan suatu pekerjaan”.

Purdie E. Chandra entrepreneur/direktur Yayasan Bimbingan Belajar PRIMAGAMA menyatakan KALAU MAU KAYA NGAPAIN SEKOLAH. Untuk menjadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu Indeks Prestasi (IP) tinggi, Ijazah, apalagi modal uang. Saat yang tepat adalah saat kita tidak mempunyai apa-apa katanya. Banyak orang ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu pintar. Sebaliknya ada orang-orang menurut guru formalnya mereka bodoh karena nilainya di sekolah jelek, justru melejit jadi wirausahawan sukses. Masalahnya jika orang terlalu tahu resikonya, terlalu banyak berhitung, malah dia tidak berani buka usaha ( Edy Zaqeus:2004, Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah, hal.75 ).

Menurut penulis, sekolah/pendidikan formal tetap saja penting dan sangat diperlukan untuk peningkatan wawasan pengetahuan agar kita tidak salah arah, dan juga tidak membabi buta dalam mengambil resiko untuk berusaha/berbisnis, tentu kita harus tetap berpikir rasional dan ini juga membutuhkan dasar pendidikan yang baik pula. Karena itu saya berpendapat “Bukan Tidak Sekolah Kemudian Lebih Cepat Kaya” tetapi pola pendidikan yang diterapkan harus mampu merangsang pengetahuan seseorang yang merupakan kerja otak bagian kiri, tetapi juga dapat merangsang kerja otak bagian kanan yang mempunyai peran untuk meningkatkan kreatifitas, seni dan sikap wirausaha seseorang.

Bila telah terjadi proses pendidikan yang seimbang antara otak kiri dan otak kanan dan digabungkan peranannya dengan tepat, maka dipastikan seseorang akan lebih sanggup untuk mengambil resiko berwirausaha/berbisnis. Masalah yang muncul kemudian adalah apakah semua manusia harus mempunyai peran yang sama, misalnya semuanya berwirausaha, menjadi pengusaha, dan akhirnya semua orang menjadi konglomerat? Entahlah!

Pendidikan kewirausahaan (Entrepreneurship) untuk generasi muda saat ini dan ke depan memang sangat penting agar generasi muda tidak tinggal diam dan sambil terus berharap suatu keberhasilan secara instan, tetapi mereka secara terus menerus harus kreatif dan inovatif agar menangkap/menciptakan peluang usaha bagi dirinya sendiri.

Dengan demikian, maka pendidikan kewirausahaan perlu diterapkan dengan baik sejak usia dini dimulai dari keluarga-keluarga. Untuk saat ini pendidikan kewirausahaan baru menjadi mata pelajaran wajib di SMA terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun sudah ada beberapa sekolah khusus yang mengajarkan kewirausahaan sejak Sekolah Dasar (SD). Ayo, mari kita mulai sekarang belajar berwirausaha agar tidak dibilang terlambat.

*) Ir. Yohanis Ano, Praktisi Pendidikan
Tinggal di Desa Baluk, Kec. Negara,
Kab. Jembrana, Bali.

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar