berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Agustus 2010

Dian Sukareni, Jangan Dipaksakan…

Lincah dan cerewet. Itulah kesan pertama yang muncul dari sosok cantik mungil bernama lengkap Ni Komang Dian Sukareni ini. Tetapi jangan salah, kecerewetan Dian bukanlah cerewet ngawur, melainkan karena dia ingin tahu banyak tentang banyak hal. “Saya selalu penasaran dengan sesuatu yang belum saya tahu. Maka saya banyak bertanya,” cetusnya sambil tertawa.

Di samping ingin banyak tahu, Dian juga adalah sosok yang selalu berani mencoba dan mau belajar. Hal inilah yang kemudian mengantarnya meraih banyak penghargaan terutama dalam berbagai even seni-budaya tradisional Bali. Bahkan sejak duduk di bangku sekolah dasar, dara berkacamata minus kelahiran Yeh Sumbul, 6 Maret 1993 ini, telah meraih juara. Saat kelas V dan kelas VI, Dian berturut-turut meraih Juara II Lomba Macapat dalam Porseni Tingkat Kabupaten Jembrana. Ketika duduk di kelas III SMP Negeri 1 Mendoyo, penggemar warna kuning ini pun meraih Juara I lomba yang sama di tingkat kabupaten.

Tak berhenti di situ, ajang Pesta Kesenian Bali di tingkat provinsi juga dijajalnya setelah dia memasuki dunia SMA. “Saya mencintai kesenian tradisi Bali, terutama yang jarang dilakoni para remaja semisal dharma gita atau mekidung itu. Saya pikir, jika tidak ada anak muda yang mau menekuninya, tak lama lagi warisan nenek moyang ini akan punah di tanah Bali. Dan jika sudah punah, kita pun akan menyesal bahkan saling menyalahkan,” demikian Dian sambil membeberkan setumpuk piagam penghargaan yang pernah diraihnya.

Dian mengaku salut dengan kiprah remaja Bali saat ini di dunia kesenian modern, terutama para remaja yang begitu antusias menekuni seni musik. “Saya acungkan jempol buat kreativitas teman-teman remaja di bidang musik saat ini. Tetapi saya sedih, perhatian mereka terhadap kesenian tradisi sangat kurang. Sebagai contoh, di SMA Negeri 1 Negara ada 700 siswa-siswi. Tetapi yang ikut ekstrakurikuler mekidung hanya lima orang. Bahkan banyak yang mengejek ekstrakurikuler ini sebagai sesuatu yang kuno. Saya sedih melihat kenyataan ini. Saya heran, semua orang kok hanya ingin jadi artis ya?” demikian Dian agak geregetan.

Namun Dian juga paham, bahwa menekuni kesenian tradisional yang langka tidaklah bisa dipaksakan. Melestarikan budaya lokal harus didasari dengan kesadaran yang tulus, bukan karena paksaan. “Banyak orang tua yang ahli dalam bidang seni tradisi tidak berani memaksa anak-anak mereka untuk meneruskannya. Mereka pikir menekuni kesenian tradisi semacam mekidung tidaklah membuat bangga untuk jaman ini. Lain jika anak-anak mereka bisa menjadi artis band, atau model, barulah mereka bangga dan berani mengeluarkan uang banyak untuk biayanya,” tandas Dian dengan nada berat.

Untuk masalah pelestarian seni budaya tradisi yang langka, menurut Dian yang juga gemar membaca novel ini, peran sekolah sangat dibutuhkan. “Harapan kita hanya pada sekolah. Sekolah harus tegas memberlakukan kurikulum kearifan lokal dengan mewadahi semua kegiatan kesenian tradisional yang hampir punah. Untuk hal ini kita bisa mencontoh sekolah-sekolah di Bandung dan Yogyakarta. Di daerah tersebut, pelajaran sastra tradisional mendapat porsi yang sama dengan pelajaran lainnya. Di Bali jangan hanya ngomong ajeg Bali, tetapi perilaku kita malah ajeg India, ajeg Arab dan ajeg Amerika. Itu konyol namanya!” pungkas Dian.

Teks: Yuli Astari
Foto: Koleksi Pribadi

1 komentar:

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar