berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

10 Agustus 2010

Gerabah Banyuning Ambruk di Tangan Calo

Harga bahan baku dan kayu bakar yang terus melonjak, secara masif telah membuat usaha kerajinan gerabah di Desa Banyuning, Buleleng, berada di ambang kebangkrutan total. Usaha masyarakat yang telah dilakoni secara turun-temurun ini juga menjadi semakin tak berdaya karena harga jual yang sangat rendah dan selalu dipermainkan para calo.



Seperti biasa, siang itu Nyoman Satra dan Luh Rencani berada di bengkel gerabah di samping rumahnya. Keringat dan lumpur jadi satu melumuri pakaian dan tangan keriput pasangan suami istri ini. Siang itu pekerjaan membuat sebuah jun (kendi dari tanah) dilakoninya dengan wajah tak begitu gembira. Bukan karena kelelahan, tetapi bayangan akan nasib tak menentu di kemudian hari telah merampas sebagian semangat kerja mereka. Akankah kerajinan gerabah yang menjadi mata pencaharian utama mereka itu masih bisa untuk membiayai hidup?

Kekalutan akan nasib tak menantu bukanlah hanya dirasakan Nyoman Satra dan Luh Rencani. Seluruh pengerajin gerabah tradisional di Desa Banyuning telah lama memendam rasa cemas akan nasib mereka. “Kami memang tak memiliki keterampilan lain kecuali membuat gerabah. Pekerjaan ini kami lakoni secara turun-temurun karena dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sebagai masyarakat kecil,” kisah Nyoman Satra.

Kini, sebagaimana nasib barang dan berbagai prabot rumah tangga tradisional lainnya, gerabah memang sudah beralih fungsi utamanya. Dulu ketika industri barang dan prabot rumah tangga yang berbahan baku dari plastik, aluminimum dan kramik belum merajalela dengan harga yang sangat murah, gerabah seperti payuk, jun, caratan, dulang, kekeb dan lain sebagainya, merupakan perabotan utama dalam setiap rumah tangga sehingga penjualannya selalu lancar. Ini juga menjadi alasan utama kenapa sebagian warga masyarakat Desa Banyuning hanya menekuni pekerjaan membuat gerabah dan tidak sempat belajar keterampilan lain. “Tahun 1960-1975 perabotan dari gerabah digunakan menanak nasi, tempat air dan yang lainnya. Sekarang fungsi gerabah sebagai perobot rumah tangga tinggal kenangan saja. Sekarang orang membeli gerabah paling-paling untuk sekedar hiasan di rumahnya atau iseng-iseng. Dan itu sangat jarang,” demikian Nyoman Satra.

Peningkatan Kualitas dan Pemasaran
Untuk bisa bersaing dengan produk non-gerabah maupun sesama produk gerabah dari daerah lain, para perajin gerabah di Desa Banyuning sebenarnya pernah dibantu Pemkab Buleleng, baik berupa alat, modal maupun pelatihan-pelatihan. Di samping itu mereka juga pernah diajak melakukan studi banding ke daerah lain. “Kami pernah diajak Pemkab Buleleng studi banding di Desa Kapal, Badung. Dalam studi banding itu kami dilatih untuk bisa meningkatkan kualitas gerabah yang kami kerjakan di Banyuning ini,” tutur Luh Rencani yang siang itu sedang membuat sebuah kekeb.

Keyakinan dan semangat warga pengerajin gerabah Desa Banyuning memang sempat bangkit kembali setelah dibantu pemerintah tersebut. Namun apa daya, kendala lain berupa pemasaran yang tersendat-sendat datang menjadi persoalan baru. “Sudah lebih dari lima tahun terakhir ini kami menghadapi masalah pemasaran. Jarang pembeli dan harganya sangat murah,” keluh Nyoman Satra.

Mengenai harga yang murah ini, menurut penuturan para pengerajin gerabah penyebabnya cukup beragam. Banyaknya jumlah pengerajin membuat persaingan sangat ketat sehingga mereka juga harus berani menurunkan harga gerabah agar pembeli tidak berpindah ke tempat lain.

Namun dari semua persoalan harga yang dihadapi para pengerajin, satu hal yang paling krusial adalah kekuasaan para calo untuk menentukan harga gerabah itu sendiri. Para calo tersebut tiada lain adalah para penampung sekaligus pedagang hasil kerajinan gerabah, baik yang ada di desa maupun di pasar. Situasi dan kondisi serba sulit yang dialami para pengerajin gerabah menjadi momentum yang sangat baik bagi para calo untuk mempermainkan harga. Mereka memberikan pinjaman terlebih dahulu kepada para pengerajin, baru kemudian mereka membeli hasil kerajinan gerabah di kemudian hari. Merekalah yang lants menentukan harga gerabah sejak masih berada di tangan para pengerajin. Selusin kekeb misalnya, calo membayar hanya Rp. 10.000. Padahal calo tersebut menjual satu kekeb saja kepada konsumen berkisar antara Rp. 2.500 hingga Rp. 3.000. “Kalau saja saya memiliki modal lebih untuk makan, saya bisa menyetok kekeb. Tapi saya tidak mampu berbuat apa-apa karena terimpit oleh kebutuhan sehari-hari,” ujar Nyoman Satra yang kini berusia 73 tahun itu.

Untuk melepaskan diri dari gurita percaloan tersebut, berbagai cara pemasaran gerabah pernah dicoba oleh para perajin Banyuning. Nyoman Satra sendiri menuturkan, ia dan istrinya pernah membawa langsung gerabahnya ke pasar-pasar yang ada di Buleleng. Tapi ujung-ujungnya harga tetap dipermainkan oleh para penampung di pasar. “Maaf Pak, barang saya masih banyak belum terjual. Tidak ada tempat untuk menampungnya,” demikian Nyoman Satra menirukan alasan para pedagang dan penampung di pasar. “Ya, terpaksa saya harus menurunkan harga untuk bisa makan hari itu saja,” lanjut Nyoman Satra.

Harga Bahan Baku
Persoalan yang dihadapi para pengerajin gerabah di Desa Banyuning ternyata tidak sebatas itu. Belakangan ini, kendala mereka bertambah lagi dengan melonjaknya harga bahan baku berupa tanah merah dan harga kayu bakar. Tanah merah yang didatangkan dari Alas Angker, Buleleng, sejak kenaikan harga BBM dua tahun lalu melonjak drastis. “Sejak harga BBM naik, harga tanah merah menjadi Rp. 50.000 per-muatan mobil colt. Padahal, sebelumnya harga tanah merah berkisar antara Rp. 35.000-40.000 permobil colt. Kenaikan harga tanah merah dan kayu bakar ini, menambah lagi beban kami para pengerajin gerabah,” tutur beberapa pengerajin yang ditemui media ini.

Sungguh, bila tidak ada pertolongan yang baik dan memadai dari berbagai pihak termasuk pemerintah daerah, usaha kerajinan yang menjadi sandaran hidup keluarga Nyoman Satra dan Luh Rencani serta para pengerajin gerabah lainnya di Desa Banyuning, tak bisa dielakkan lagi dari kebangkrutan. Dan ini sungguh patut disayangkan, mengingat kerajinan gerabah Desa Banyuning adalah salah satu potensi dan aset yang telah pernah ikut mewarnai dinamika perekonomian rakyat di Kabupaten Buleleng dan Bali pada umumnya. Kita tentu tidak berharap kerajinan masyarakat ini punah, sebab di samping merupakan aset tradisional yang patut dilestarikan, hal ini juga menyangkut hajat hidup banyak orang dan keluarga di Desa Banyuning.

Teks & Foto: Figur Saka Nugraha
(Kontributor Singaraja)

0 komentar:

Posting Komentar