berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

19 Juli 2010

Pendidikan di Titik Nol

Sebuah Catatan Kritis di Tengah Ujian Nasional

Fakta menyodorkan, dunia pendidikan Indonesia hingga hari ini belum juga menemukan bentuk idealnya. Proses pendidikan hingga saat ini masih berada dalam proses eksperimentasi yang konyolnya justru sering mengorbankan esensi dari pendidikan itu sendiri. Proses belajar-mengajar di sekolah bahkan seringkali masih dikorbankan oleh kepentingan-kepentingan lain semisal politik atau kepentingan ekonomi.

Ketika bicara pendidikan, tentulah tidak selesai hanya dari sisi luar secara fisik semata. Esensi pendidikan justru berada di “dalam”, mulai dari dalam kompleks gedung sekolah, dalam kelas, hingga apa yang ada di dalam diri para tenaga pendidik alias guru, apa yang ada di dalam diri para peserta didik alias para siswa, serta apa yang ada di dalam benak masyarakat untuk merespon keberadaan dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

Hal yang tidak kasat mata inilah yang sejatinya justru jauh lebih esensi dari segala fasilitas yang selama ini dijadikan nomor satu dalam keberlangsungan pendidikan kita. Sekedar contoh, sebuah sekolah boleh saja memiliki fasilitas gedung mewah dengan sistem belajar-mengajar terkomputerisasi atau serba menggunakan IT. Tetapi jika semua itu pada akhirnya tidak menghasilkan output yang mampu merespon dinamika kehidupan riil yang ada di masyarakat, sebuah pendidikan tetaplah sia-sia.

Sementara itu yang disebut dinamika kehidupan masyarakat tidaklah pernah berhenti dan mau menunggu untuk menyesuaikan diri dengan output sekolah. Dalam konteks negatif, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dekadensi moral dan berbagai krisis sosial dan politik, terus menerus bergulir melampaui nilai-nilai moral standar yang dicekokkan kepada peserta didik di dalam kelas. Maka betapa tak berdayanya para siswa dan generasi muda tamatan sekolah kita hingga saat ini ketika mereka harus terjun ke masyarakat. Bahkan secara ekstrem, banyak siswa dan mahasiswa yang takut tamat karena belakanagan mereka menyadari betapa tak berdayanya pengetahuan dan keterampilan mereka ketika berada di luar sekolah atau kampus.

Dalam konteks positif, berbagai kemajuan yang terjadi di luar gedung sekolah juga selalu membuat terkesiap generasi muda setamat sekolah atau kuliah. Mereka terkaget-kaget dengan berbagai fakta “kemajuan” yang tak pernah mereka terima dalam kelas. Pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, dan jenis-jenis eksak lainnya yang mereka terima di kelas, ternyata tak berarti apa-apa bahkan ketika mereka menghadapi kenyataan di sebuah toko mainan anak-anak.

Pelajaran Sejarah, Sosiologi, Tata Negara dan sejenisnya yang diberikan guru dan yang ada di buku-buku pelajaran, ternyata tak berari apa-apa ketika berhadapan dengan dinamika sosial budaya masyarakat di luar kelas. Tak mampu mendorong responsibilitas generasi muda atas berbagai fenomena kemajuan jaman. Satu contoh sederhana, ketika pelajaran Sejarah dan Tata Negara di kelas masih berkutat dengan hapalan nama-nama pahlawan, nama-nama menteri, fungsi lembaga-lembaga tertinggi negara, di luar kelas mereka telah dilakukan berbagai amandemen undang-undang ketatanegaraan oleh para elit dan penguasa. Pada tataran praktek, maka apa yang baku yang ada dalam buku pelajaran ilmu-ilmu sosial dan ketatanegaraan di kelas pun sudah menjadi sesuatu yang ketinggalan atawa kedaluwarsa.

Doktrinasi dalam pendidikan
Praktek doktrinasi dalam dunia pendidikan kita saat ini pun masih berlaku. Parahnya, doktrinasi itu justru datang dari lembaga-lembaga di luar dunia pendidikan seperti lembaga kekuasaan, lembaga politik dan lembaga ekonomi. Sejak berlakunya otonomi daerah di mana manajeman pendidikan di daerah digabung ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan, manajeman pendidikan tidak lagi murni berada di bawah departemen tetapi berubah status menjadi “dinas”, otoritas lembaga ini pun terhapus secara fungsional. Dinas pendidikan hanya berfungsi untuk menjalankan perintah dari kekuasaan. Manajeman pendidikan di daerah-daerah kehilangan inisiatif sekaligus kehilangan hak manajemannya sendiri.

Sejak era otonomi daerah diberlakukan di tanah air tercinta yang katanya demokratis ini, sekolah pun tiba-tiba diklaim sebagai “wilayah jajahan politis” birokrasi kekuasaan. Maka tidak sedikit sekarang kepala sekolah yang menjadi penuh ketakutan di wilayahnya sendiri. Takut karena ada hantu yang bernama kekuasaan yang bisa saja datang tiba-tiba dengan otoritas kekuasaannya. Tidak sedikit kepala sekolah dan guru-guru yang menderita “phobia kekuasaan”. Runyamnya, ada kepala sekolah yang ketakutannya berlebihan, sampai-sampai menyusun program kerja sekolah saja tidak bisa. Bukan tidak bisa sebenarnya, tetapi berhati-hati secara berlebihan karena takut disalahkan penguasa.

Di samping diskrinasi politik kekuasaan, pemaksaan atas penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) juga telah membunuh peluang dan daya kreatif para siswa. Selama ada UN, banyak pakar yang mengatakan “sekolah menjadi tak beda dengan sebuah tempat kursus untuk meladeni Ujian Nasional melulu”. Para siswa menjadi tak punya waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan humaniora, tak punya waktu untuk menyelenggarakan eksrakurikuler serta kegiatan-kegiatan lain yang bisa mendekatkannya dengan masyarakat. Sepulang sekolah, seluruh waktu peserta didik harus dihabiskan untuk mengikuti berbagai les tambahan agar bisa mengikuti UN. Dalam konteks ini, pendidikan justru menjadi berhala yang harus diladeni penuh oleh peserta didik.

Partisipasi yang mati
Di era otonomi daerah ini, partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan juga mengalami degradasi yang parah, bahkan terbunuh tanpa alasan. Dari media massa, begitu seringnya kita disuguhi berita tentang robohnya sebuah sekolah, tentang hancurnya fasilitas sekolah semacam laboratorium, perpustakaan dan sejenisnya karena sudah kedaluwarsa, tentang mahalnya buku-buku pelajaran.

Hal yang tidak seharusnya terjadi di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, bisa terjadi tiada lain adalah akibat dari matinya partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan. Karena pemerintah (daerah) terlanjur memposisikan diri sebagai pengatur segala hal di wilayah pendidikan, maka masyarakat pun menjadi apatis. Melihat gedung sekolah sudah tua dan bocor, melihat perpustakaan sekolah kosong melompong tak punya buku, masyarakat tak peduli. Mereka berpikir semua itu toh sudah dipikirkan pemerintah. Pihak sekolah pun tak berani berbuat banyak misalnya meminta sumbangan kepada para wali murid dan masyarakat di sekitarnya, karena takut dikatakan melakukan pungutan liar.

Suastanisasi manajemen di dunia pendidikan yang dilakukan pemerintah, terutama di wilayah perguruan tinggi, juga sangat berpengaruh pada matinya partisipasi masyarakat pada pendidikan. Bahkan kebijakan ini cenderung memberi peluang pada berlakunya hukum rimba; siapa yang kuat dialah yang menang. Siapa yang banyak uang, dialah yang lebih berpeluang membeli bangku di kampus terbaik.

Jika mau jujur melihat kondisi dunia pendidikan yang ada saat ini, sudah sepatutnya semua pihak terutama pemerintah untuk melakukan evaluasi. Setidaknya, ego untuk tampil menjadi sentral dengan memasuki segala sisi dunia pendidikan, sudah harus diakhiri. Sudah sering disinggung dalam berbagai forum, bahwa dunia pendidikan itu ibarat mata air. Jika mata air itu direcoki dengan arogansi pemerintah berikut aspek-aspek yang mengikutinya seperti aspek politik, ekonomi (dengan dalih efisiensi), dan aspek-aspek lainnya, maka mata air itu pun akan menjadi keruh. Maka dari itu pula, dengan mudah dapat ditebak, generasi macam apa yang akan lahir dari sistem pendidikan yang keruh dan karut-marut?

Teks: Nanoq da Kansas
Foto: De’a Yogantara

3 komentar:

Anonim mengatakan...

sepanjang dunia pendidikan indonesia masih dikendalikan politik kekuasaan, maka bangsa ini gak bisa berharap lebih daripada menjadi negara yang terbelakang terus dalam pendidikan. menyedihkan. sudah banyak kritik, saran dan solusi yang ditulis atau diungkapkan para pesohor, tetapi sistem politik gak mau merespon.

Redaksi mengatakan...

Terima kasih atas apresiasi/tanggapannya. Salam kreatif dari Redaksi Bali Bicara.

silvimargaret mengatakan...


Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar