berdamai dengan diri sendiri, di sanalah adanya cinta. dan sesungguhnyalah cinta tidak lahir dari kesemena-menaan.

-Nanoq da Kansas-

17 Agustus 2010

Merdeka Sambil Melarat

“Saya tidak memasang bendera di rumah. Males, soalnya kian hari negeri ini kian amburadul,” ujar seorang warga di sebuah warung kopi.

Ucapan warga ini tentu saja mendapat reaksi beragam dari beberapa orang yang juga ada di warung itu. Ada yang cuma tertawa, ada yang mendebat tidak terima. “Persoalan amburadul atau tidak, itu tidak ada hubungan dengan ulang tahun kemerdekaan. Kita harus menghormati hari suci ini. Sama dengan hari raya dalam agama, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan adalah juga hari suci bagi bangsa kita,” sengit orang itu.

Dengan mudah dapat ditebak kemudian sebuah perdebatan seru berlangsung di warung kopi di pojok perempatan dekat bale banjar itu. Warga yang enggan memasang bendera tersebut membantah keras jika dirinya dikatakan tidak menghormati negara hanya gara-gara tidak memasang bendera di bulan Agustus. Dia mengatakan bahwa dengan tidak memasang bendera, tak sedikit pun rasa hormat dan taatnya kepada negara berkurang. “Rasa hormat dan ketaatan bernegara tidak bisa hanya diukur dari memasang bendera merah putih atau tidak memasang di bulan Agustus. Bagaimana kalau saya memasang bendera tetapi hati saya justru tidak tenteram dan tidak iklas?” tanyanya lagi.

“Kenapa tidak iklas? Kalau sampean tidak iklas, ya berarti sampean memang tidak punya rasa hormat kepada negara. Tidak menghargai jasa para pahlawan yang dulu berjuang sampai mati untuk merebut kemerdekaan. Kemerdekaan tidak berarti sebuah negara otomatis makmur, tertib, rapi, aman dan sebagainya. Tetapi ketika kemerdekaan sudah kita genggam, saat itulah kita bersama-sama mengupayakan kemakmuran, ketertiban, keamanan dan lain sebagainya,” sergah warga itu tambah sengit.

“Aduh, sampean pinter sekali bicara. Mau nggak sampean jadi calon bupati? Kalau mau nanti saya yang jadi tim suksesnya,” sahut warga lainnya.

“Apa? Jadi calon bupati? Mau mau! Apa syaratnya?”
“Punya uang banyak buat membeli dukungan.”
“Sial! Uang banyak dari mana wong saya masih pengangguran begini? Ogah ah!”

Perdebatan masih berlangsung lama di warung kopi itu.

Dan ini bukanlah cerita fiksi. Bahwa persoalan kemerdekaan beserta kelanjutannya berupa kesuksesan pembangunan bagi negeri yang besar ini, ternyata belumlah berhenti untuk menjadi perdebatan. Selalu ada yang merasa tidak enak hati dengan istilah merdeka itu. Merdeka kok banyak yang tidak mampu beli beras? Merdeka kok sekolahkan anak saja mahal sekali? Merdeka kok cari pekerjaan saja sulit setengah mati? Merdeka kok biaya berobat tak terjangkau rakyat kecil? Merdeka kok ada perbedaan mencolok antara kaya raya dan miskin sampai mati? Merdeka kok ada teroris? Merdeka kok ada intimidasi? Merdeka kok bangkrut? Merdeka kok anu...? Dan seterusnya.

Siapa pun juga boleh menilai dan mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang bermutu, naif, tidak cerdas, bahkan konyol. Tetapi siapa pun juga tetap punya hak untuk melontarkan pertanyaan tersebut. “Sebab dalam faktanya sampai 65 tahun merdeka negara kita memang masih belum menunjukkan tanda-tanda lebih baik dari sisi kesejahteraan dan keadilan. Cita-cita kesejahteraan bersama masih jauh dari harapan. Kesenjangan sosial, politik, ekonomi, bahkan semakin terasa sepuluh tahun terakhir ini,” demikian Ketut Ardha Negara, pemerhati sosial dari Baler Bale Agung Negara.

Ardha yang dalam aktivitas kesehariannya selalu bersentuhan dengan masyarakat berbagai kalangan ini mengatakan, bahkan kini masyarakat kebanyakan sudah merasa kehilangan harapan dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri. “Dalam alam kemerdekaan ini, setiap hari rakyat dihadapkan dengan berbagai persoalan yang tidak pernah dapat diselesaikan dengan tuntas. Mulai dari persoalan kemiskinan dan pengangguran yang selalu bertambah sampai pada persoalan-persoalan politik dan ekonomi yang semakin membuat kehidupan berbangsa bertambah morat-marit. Semua persoalan saling mempengaruhi yang ujung-ujungnya membuat rakyat kecil susah,” tandas Ardha.

Sambil Melarat
Sejak Republik ini merdeka, seluruh rakyat Indonesia memiliki satu tujuan yakni meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Demikian pula dengan pemerintah, bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa di negeri ini memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, berarti sejak dulu hingga sekarang rakyat dan pemerintah Indonesia telah memiliki tujuan yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaanya, kenapa sampai saat ini kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidak juga terwujud padahal hal itu merupakan tujuan bersama antara rakyat dan pemerintah?

Walau kedengaran sangat naif, pertanyaan ini sangat mendasar. Sebab, realitas yang ada dengan gamblang menunjukkan kepada kita semua, bahwa yang bernama kesejahteraan bersama itu hingga detik ini masih hanya sebatas fatamorgana. Hingga detik ini, yang jelas-jelas ada barulah pada “kesejahteraan tidak bersama”. Pemerintah boleh saja setiap semester mengaku bahwa telah berhasil mengurangi kemiskinan sekian persen atau sekian digit dari sebelumnya, tetapi ketimpangan ekonomi toh tak beranjak dari kehidupan bersama sehari-hari.

Di ulang tahun kemerdekaan yang ke-65 ini misalnya, seharusnya kita rayakan dengan rasa bahagia. Tetapi ternyata tidak ada yang bahagia. Karena berbagai masalah menumpuk di dalam negeri. Katakanlah yang paling mendasar adalah soal sembako. “Bagaimana orang-orang kecil bisa bahagia? Beras setiap hari bertambah mahal. Minyak goreng, bumbu, bahkan lombok aja harganya begitu menyiksa rakyat. Beras mahal, tetapi tidak memberi keuntungan apa-apa bag para petani sawah. Harga lombok puluhan ribu sekilo, tapi para petani lombok tak ikut mendapat keuntungan. Tidak ada yang bahagia memang,” lanjut Ardha Negara.

Di samping harga-harga kebutuhan pokok yang kian melambung gara-gara pemerintah menaikkan TDL dan melakukan konversi minyak tanah menjadi gas, biaya-biaya hidup yang lain juga tak mau kalah berlomba saling melampaui kewajaran. “Runyamnya lagi, untuk menolong rakyat mengimbangi kenaikan harga ini, pemerintah tak punya inovasi. Taruhlah misalnya ketika sembako mahal, pemerintah bisa mengimbanginya dengan memberikan pelayanan publik yang murah dan baik bagi masyarakat. Misalnya pemerintah bisa menurunkan biaya transportasi untuk rakyat. Dengan demikian rakyat tidak perlu harus membawa sepeda motor untuk bepergian yang dekat-dekat. Rakyat tidak perlu nyicil kendaraan karena pemerintah sudah menyediakan transpotasi yang murah dan baik,” ujar seorang pedagang nasi jinggo di kota Negara.

“Di tengah keruwetan hidup seperti sekarang ini, pemerintah malah membuat program yang aneh-aneh. Membangun IT canggih, konversi minyak tanah, atau entah apa lagi namanya, tapi semua tak bersentuhan langsung dengan hajat hidup masyarakat kebanyakan,” lanjut pedagang nasi itu.

Apa yang dikatakan pedagang nasi jinggo itu mungkin terlalu sederhana. Seperti juga perdebatan beberapa warga di warung kopi tadi, ternyata berujung pada sesuatu yang sangat sederhana. “Sudahlah, sampean nggak perlu maksa saya memasang bendera. Bukan karena apa-apa kok, tapi karena bendera yang saya punya ternyata sudah robek dimakan usia. Dan saya tidak mampu membeli bendera baru lagi. Saya merdeka. Sungguh saya menghargai dan menghormati kemerdekaan negeri ini, tapi sambil miskin. Apa saya salah lagi?” demikian warga yang enggan memasang bendera itu di ujung berdebatan lantas ngloyor pergi.

Teks: Nanoq da Kansas
Ilustrasi:
sekelebatsenja

2 komentar:

Anonim mengatakan...

salut dgn sang tokoh yg tdk memasang bendera,
apa benar? harga dari Nasionalisme itu hanya dengan memasang "BENDERA" pada saat hut proklamasi
bagaimana dengan "BAPAK-BAPAK,TUAN-TUAN,"
Yang mengatur dan mewakili rakyat dan atas nama rakyat yang hari-harix di lewatkan dalam ruangan ber AC yang di dindingnya burung Garuda senantiasa menatapinya serta Merah putih yang senantiasa melambai padanya,
Pernahkah? mereka mau melirik sang Garuda yang terpajang di dinding ketika
" rapat membahas ANGGARAN"
Pernahkah? mereka mau menengok keatas untuk melihat lamabaian Sang Merah putih ketika mereka melewatinya dengan Kendaraan mewahnya

Lalu Rakyat yang untuk makan saja sudah teramat susah apalagi mau beli bendera,
Mungkin baiknya kita berpikir realis saja,tidak usahlah meributkan persoalan bendera sebab mereka yang hidupnya lebih dari cukup bahkan mewakili rakyat tidak mempersoalkannya apalagi kayak kita-kita ini yg mendengar harga sembako naik langsung kalang kabut

18 Agustus 2010 14.51

bali bicara mengatakan...

Buat Anonim: trims atas apresiasinya. salam merdeka :)

Posting Komentar